merupakan candi yang berdiri sejak abad XIII pada masa kerajaan
Singhasari (Singosari). Nama Candi Jago ini berasal dari kata Jajaghu.
Letak Candi Jago adalah pada Desa Tumpang, Kecamatan Tumpang, Kabupaten
Malang, yang bisa dtempuh sejauh 22 km ke arah timur dari kota Malang.
Penduduk setempat sering menyebut Candi Jago sebagai Cungkup, ada juga
yang menyebutnya sebagai Candi Tumpang.
Kali ini
nnoart.com
akan mengulas mengenai Candi Jago, yang merupakan salah satu
peninggalan sejarah di Malang yang juga saat ini berfungsi juga sebagai
salah satu objek wisata sejarah di Malang. Informasi yang diberikan
dalam tulisan ini sebagian besar disadur dari Wikipedia serta beberapa
lainnya dengan mengamati langsung di lapangan serta bertanya pada
pengelola setempat.
Letak Candi Jago
Sebelum mempelajari banyak hal mengenai Candi Jago, ada baiknya untuk
mengetahui terlebih dahulu lokasi tepat dari candi ini. Mungkin ada
diantara pembaca yang lebih tertarik untuk menggali informasi lebih
detailnya secara langsung di lapangan atau hanya sekedar untuk
jalan-jalan saja.
Bagi pembaca yang ingin mengunjungi Candi Jago, dapat langsung melihat
Google Maps di atas, yang menunjukan langsung lokasi dari candi ini di
dusun Jago, Desa Tumpang, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, Jawa
Timur. Koordinatnya adalah pada 8°0′20,81″LU 112°45′50,82″BT atau bisa
langsung klik pada "
view larger map" pada Google Map di atas untuk menuju halaman peta yang lebih besar.
Cara Menuju Candi Jago
Jika dari kota Malang, berkendaralah sejauh kurang lebih 22 km ke arah
timur, melalui Madyopuro – Cemorokandang – kecamatan Pakis – Tumpang
atau bisa dengan mengikuti jalan Laksda Adisucipto (jalan menuju
bandara), terus melewati Pakis hingga masuk Tumpang. Ikuti terus jalan
utama hingga tiba di Pasar Tumpang yang berada di pusat kecamatan
Tumpang. Candi Jago terletak kurang lebih 500 meter dari Pasar Tumpang.
Oh iya, bagi yang ingin naik angkutan umum bisa ke Terminal Arjosari dan
naik angkutan umum Malang – Tumpang hingga tiba di Pasar Tumpang. Anda
bisa naik ojek dari sini atau berjalan kaki kurang lebih 10 menit.
Candi Jago berada diantara permukiman warga, tepat berada di depan SD
Negeri Tumpang 02 di Jalan Wisnuwardhana. Pengelola candi menggunakan
pagar kawat berduri untuk membatasi antara candi dengan permukiman
warga.
Sejarah Candi Jago
Nama sebenarnya dari candi ini adalah
Jajaghu (menurut kitab Negarakertagama dan Pararaton).
Jajaghu merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk menyebut suatu tempat suci.
Jajaghu
sendiri artinya ‘keagungan’, yang seiring berjalannya waktu sekarang
hanya disebut sebagai candi Jago, walaupun terkadang ada yang
menyebutnya sebagai Candi Tumpang karena lokasinya atau warga setempat
lebih sering menyebutnya Cungkup.
Candi Jago didirikan pada abad XIII tepatnya pada masa kejayaan Kerajaan
Singhasari. Pada awal mula didirikan oleh Raja Kertanegara, Candi Jago
dijadikan sebagai makam raja kerajaan Singhasari yang keempat yaitu
Wishnuwardhana yang juga merupakan ayah dari Raja Kertanegara. Raja
Wishnuwardhana sendri wafat pada tahun 1268 M. Candi tambahan didirikan
dan ditambahkan Arca Manjusri oleh Adityawarman (sekarang tersimpan di
Museum Nasional bernomor inventaris D. 214).
Raja Kerajaan Singasari waktu itu, Wisnuwardhana, merupakan penganut agawa
Syiwa Buddha
yang merupakan aliran keagamaan perpaduan Hindhu Buddha (informasi
dalam Pupuh 41 Gatra ke-4 Negarakertagama). Selama masa pemerintahan
kerajaan Singasari, kerajaan yang terletak kurang lebih 20 kilometer
dari Candi Jago, aliran Syiwa Buddha ini terus berkembang.
Pembangunan Candi Jago dalam kitab Negarakertagama serta Pararaton
berlangsung selama 12 tahun yaitu pada 1268 M – 1280 M. Walaupun Candi
Jago lebih identik dengan kerajaan Singosari, namun disebut juga dalam
Negarakertagama serta Pararaton bahwa Raja dari Kerajaan Majapahit,
Hayam Wuruk, sering mengunjungi candi ini sepanjang tahun 1359 M.
Hubungan antara Candi Jago dengan Kerajaan Singhasari bisa juga dilihat
dari pahatan teratai (
padma) yang menghiasi tatakan arca-arcanya,
dimana terlihat menjulur keatas dari bonggolnya. Motif teratai ini
merupakan motif teratai populer pada masa Kerajaan Singasari. Dalam
sejarah Candi, perlu dicermati juga kebiasaan raja-raja zaman dulu yang
biasanya memugar candi-candi yang dibangun oleh raja-raja sebelumnya.
Ada dugaan bahwa Raja Adityawarman dari Melayu, yang masih memiliki
hubungan darah dengan Hayam Wuruk, pernah memugar Candi Jago pada tahun
1343 M.
Struktur Candi Jago
Candi Jago yang terlihat saat ini merupakan sebuah reruntuhan yang belum
dipugar, dimensi candi berbentuk segiempat dengan luas 23,71 meter x
14 meter. Atap candi hilang (konon katanya karena disambar petir)
sehingga tidak dapat dipastikan ketinggian candi yang sebenarnya, namun
diperkirakan tingginya mencapai 15 meter walaupun yang terlihat sekarang
ketinggiannya hanya mencapai 9,97 meter yang disusun seperti teras
punden berundak. Candi Jago terbuat dari batu andesit, ornamen-ornamen
yang ada pada kaki serta badan Candi Jago mirip dengan yang ada pada
Candi Penataran di Blitar, Jawa Timur (Baca tentang Candi Penataran
KLIK DISINI).
Candi Jago yang terlihat saat ini sudah tidak utuh karena yang tersisa
hanya sebagian kecil badan candi serta bagian kaki candi. Terdapat 3
buah teras yang menjorok yang menyangga badan candi di bagian ketiga
dari teras-teras itu. Sebagian badan candi serta atap candi telah
terbuka. Itulah sebabnya bentuk pasti dari Candi Jago ini belum
diketahui, walaupun telah ada dugaan bahwa atap Candi Jago ini
menyerupai
Pagoda atau
Meru.
Candi Jago ini menghadap arah barat yang didirkan diatas batur setinggi
kurang lebih 1 meter. Semakin keatas semakin mengecil pula teras kaki
candi. Pada teras lantai 1 dan lantai 2 terdapat selasar yang dapat
dilalui oleh pengunjung agar dapat mengelilingi candi di masing-masing
tingkat. Ruang utama (
Garba Ghra) terletak agak ke belakang.
Pada zaman megalitikum, bentuk bangunan yang bersusun, bergeser ke
belakang serta berselasar merupakan bentuk yang cukup umum. Bangunan
seperti ini disebut bangunan punden berundak. Ini merupakan bentuk yang
sering digunakan sebagai tempat pemujaan bagi arwah leluhur. Itulah
sebabnya dari bentuk Candi Jago ini diperkirakan tujuan pembangunannya
yaitu sebagai tempat pemujaan arwah leluhur, walaupun hingga saat ini
masih terus dilakukan penelitian lebih lanjut agar dapat membuktikan
kebenarannya.
Pada sisi depan (barat) terdapat dua tangga sempit sisi kanan maupun
kiri yang dapat digunakan untuk naik ke lantai atas. Lantai teratas
merupakan lantai yang paling suci serta paling penting perannya.
Terdapat sebuah bangunan yang letaknya agak bergeser ke belakang pada
lantai teratas ini. Pada bagian atap candi sudah tidak ada bekasnya
lagi, diperkirakan dulunya terbuat dari ijuk atau kayu.
Sekitar 6 meter dari kaki candi tepatnya di pelataran depan, terdapat
suatu tatakan yang menyerupai arca raksasa yang dipahat dari batu besar.
Batu ini berdiameter kurang lebih 1 meter. Pahatan bunga
padma (teratai) yang menjulur dari bonggolnya terpahat di puncak batu ini.
Arca Amoghapasa yang berlengan delapan dengan latar belakang berupa
singgasana dengan bentuk kepala raksasa yang membelakangi satu sama lain
berada di sisi barat halaman candi. 2 dari 4 lengan kanan serta 2 dari 4
lengan kiri dari arca ini sudah patah ditambah lagi kepala arca yang
hilang, sehingga kondisinya terlihat sangat memprihatinkan. Arca kepala
raksasa setinggi kurang lebih 1 meter terdapat di selatan arca ini (foto
kepala arca ini ada di pembahasan mengenai struktur candi Jago) pada
jarak kurang lebih 3 meter. Benda-benda yang ada di pelataran candi ini
tidak diketahui secara pasti apakah posisi aslinya memang disitu atau
bukan, sampai saat ini para ahli hanya menduga-duga tentang beberapa hal
tentang Candi ini.
Relief Candi Jago
Mulai dari kaki hingga dinding ruang teratas dipenuhi dengan panel-panel
relief yang dipahat dengan rapi. Dapat dikatakan tidak terdapat bidang
yang kosong dari relief-relief tersebut, berbagai macam hiasan dalam
jalinan cerita yang sebagian besarnya mengandung unsur pelepasan
kepergian hampir memenuhi seluruh tembok candi. Inilah yang menguatkan
dugaan bahwa ada kaitan erat antara pembangunan Candi Jago dengan
wafatnya Raja Wisnuwardhana (Sri Jaya Wisnuwardhana). Hal ini sesuai
juga dengan agama beliau, Syiwa Buddha, dimana relief-relief yang
terpahat di candi juga mengandung ajaran Hindu Buddha.
Dinding bagian luar kaki Candi Jago dipahatkan relief-relief cerita
seperti Anglingdharma, Kunjarakharna, Arjuna Wiwaha, Parthayana,
Kresnayana serta cerita fabel. Urutan mengikuti cerita-cerita pada
relief tersebut adalah mengikuti aturan pradaksiana yaitu dengan
berjalan memutari candi searah jarum jam.
Relief cerita Tantri Kamandaka serta cerita Kunjarakharna yang
mencerminkan ajaran Buddha terpahat di teras paling bawah. Cerita
Kunjarakharna bersambung pada dinding teras kedua Dalam kepercayaan
Buddha cerita Kunjarakharna bersifat dedaktif, tentang raksasa
Kunjarakarna yang ingin menjelma menjadi seorang manusia. Raksasa
Kunjarakarna ini menghadap Sang Wairocana (dewa tertinggi) untuk
menyampaikan maksudnya. Setelah mendapatkan nasihat serta selalu patuh
pada ajaran Buddha akhirnya keinginan dari raksasa ini dapat terwujud.
Di dinding teras kedua juga terdapat kisah Parthayajna serta Arjuna
Wiwaha yang merupakan petikan kisah Mahabarata yang menggambarkan ajaran
agama Hindhu. Cerita Arjuna Wiwaha bersambung ke teras ketiga. Cerita
Arjunawiwaha menceritakan riwayat perkawinan antara Arjuna dan Dewi
Suprabha. Perkawinan tersebut merupakan sebuah hadiah dari Bhatara Guru
setelah raksasa Niwatakawaca dikalahkan oleh Arjuna. Cerita Hindu
lainnya yang terpahat pada dinding tubuh candi adalah peperangan Krisna
dan Kalayawana.

Pada bagian barat laut atau sudut kiri Candi jago ini tergambarkan awal
cerita binatang seperti halnya dalam cerita Tantri yang terdiri dari
beberapa panel. Di dinding depan Candi Jago terdapat fabel berupa
kura-kura yang menceritakan dua ekor kura-kura yang menggigit setangkai
kayu kemudian diterbangkan oleh seekor angsa dengan mengangkat tangkai
kayu tersebut. Saat tengah menempuh perjalanan ada gerombolan serigala
yang menertawakan kura-kura tersebut. Mendengar hal tersebut, kura-kura
membalas dengan kata-kata (berbicara) yang membuat gigitannya pada
tangkai kayu tersebut terlepas sehingga akhirnya kura-kura tersebut
terjatuh. Gerombolan serigala dibawah siap menyambutnya dan memakan
kura-kura tersebut. Makna dari fabel ini adalah sebuah nasihat agar
jangan mudah mundur dalam suatu usaha hanya karena diejek orang.
Pada badan Candi Jago, tidak terlalu banyak terdapat hiasan seperti yang
banyak terdapat pada kaki candi. Pada badan Candi Jago, yang terlihat
hanyalah relief adegan Kalayawana yang juga masih berkaitan dengan
cerita Kresnayana. Relief ini menceritakan peperangan antara Kresna dan
raja Kalayawana.
Fasilitas dalam Candi Jago
Tidak banyak fasilitas yang tersedia di Candi Jago ini. Seperti layaknya
candi-candi lainnya di area Malang, fasilitas yang tersedia hanya
berupa ruangan kecil untuk pengelola tempat dimana pengunjung bisa
menulis namanya di daftar pengunjung serta memberikan sumbangan
secukupnya bagi pemeliharaan candi. Halaman parkir di dalam kompleks
candi juga tidak terlalu luas, berkapasitas kurang lebih belasan sepeda
motor. Sebuah papan informasi tempat dimana dipajang informasi lengkap
serta foto-foto Candi Jago. Sebuah toilet juga terdapat di sisi sebelah
timur (belakang) candi. Beberapa tempat duduk dari beton berada di bawah
pohon yang rindang, tempat pengunjung dapat duduk santai menghabiskan
waktu sambil melihat kemegahan candi. Soal warung makan dan sebagainya,
memang tidak ada di dalam kompleks candi, akan tetapi pengunjung bisa
mencarinya di luar kompleks. Beberapa warung makan nampak berada di
tepian Jalan Wisnuwardhana tempat Candi Jago ini berdiri.
Jam Operasional Candi Jago
Candi Jago dibuka untuk umum mulai pukul 07:00 hingga pukul 16:00 WIB.
Jam operasional ini bersifat fleksibel karena terkadang hingga pukul
17:00 masih dibuka, tergantung dari banyaknya pengunjung saat sore hari.
Tarif yang Berlaku
Untuk masuk ke dalam kompleks Candi Jago tidak perlu membayar karcis
masuk, namun apabila mengisi buku tamu, pengunjung bisa membayar
berapapun secara sukarela kepada pengelola. Oh iya, pengelola juga
menyediakan buku yang berisi segala informasi tentang Candi Jago lengkap
juga dengan keterangan relief-reliefnya dengan harga Rp. 15.000/buku.
Untuk parkir, sama sekali tidak dikenakan tarif.
Cerita Jalan-Jalan ke Candi Jago
Berawal dari rasa bosan karena sudah lama tidak jalan-jalan, siang hari
itu (16 April 2016) saya memutuskan untuk jalan-jalan sebentar mencari
spot foto yang keren di sekitar kota Malang. Karena rasanya tidak asyik
kalau jalan-jalan sendiri saja, saya singgah sebentar ke rumah kontrakan
teman-teman seperjuangan selama di Malang di Poharin. Ternyata ada yang
berminat untuk jalan-jalan bersama saya waktu itu walaupun cuma
seorang, Dimas namanya (@febryblager).
Karena masih jam 2 siang, kami masih duduk-duduk sebentar bersama
penghuni kontrakan, sekalian juga membahas mau kemana. Karena ke arah
selatan Malang kemungkinan besar akan terjebak macet (waktu itu ada
pertandingan Arema di stadion Kanjuruhan Kepanjen), ke arah barat (kota
Batu) juga sudah terlalu sering, kami memutuskan untuk ke arah timur.
Karena maunya yang dekat-dekat saja akhirnya dipilih Candi Jago sebagai
tempat untuk hunting foto pada hari itu. Candi lainnya di wilayah Malang
yang pernah saya kunjungi diantaranya
Candi Singosari dan
Candi Badut, bisa dibaca dan lihat foto-fotonya dengan klik masing-masing tautan tersebut.
Perjalanan lumayan cepat dan lancar, karena sama sekali tidak macet
sepanjang jalan. Bahkan Jembatan Ranu Grati (Sawojajar) kota Malang yang
langganan macet sore hari sedang lengang saat itu. Tidak butuh lama,
kurang lebih 20 menit kami tiba di Pasar Tumpang. Di pertigaan pasar
Tumpang ini, kami belok kiri dan berhenti untuk bertanya pada warga
sekitar gang menuju candi Jago. Oleh warga tersebut kami diarahkan untuk
belok kanan tepat di sebelah Masjid besar atau di depan SD Negeri
Tumpang 01, yang merupakan Jalan Wisnuwardhana, setelah itu terus hingga
ketemu Candi Jago dan SD Negeri Tumpang 02 di sebelahnya.
Saat melewati bagian depan Candi, sempat khawatir karena terlihat
gerbang depannya ditutup dan dikunci. Setelah melihat lebih jauh
kedalam, pintu masuknya ternyata berada di sisi sebelah kanan (utara)
candi. Akhirnya saya dan Dimas kembali ke motor dan berkendara ke
gerbang samping. Oleh petugas diarahkan untuk parkir di tempat parkir
yang ada tepat di sebelah ruang pengelola/petugas jaga.

Waktu
itu sekitar pukul 15:30, jadi masih terlalu silau untuk foto, namun
bagaimanapun juga sudah terlanjur sampai disini jadi tidak pakai
buang-buang waktu lagi langsung berkeliling untuk melihat spot terbaik
untuk foto. Nampak ada 3 kelompok pengunjung selain kami di tempat ini,
cukup sepi kan? Kelompok pertama merupakan pasangan muda-mudi yang
sedang duduk berduaan di tempat duduk di bawah pohon, kelompok kedua
adalah 3 orang siswi SMA yang masih berseragam dan kelompok terakhir
adalah 2 orang remaja yang sedang berfoto-foto di dalam kompleks Candi
Jago.
Suasananya sudah sepi dan sangat cocok untuk foto, tapi sayang sekali
karena datangnya terlalu cepat, cahayanya masih agak kasar, bagi saya
masih belum cocok untuk foto landscape. Tapi tetap saya lanjutkan untuk
foto, karena agak nanggung kalau mau menunggu hingga pukul 16:00 – 18:00
(waktu favorit saya untuk foto di sore hari). Saya dan Dimas mulai
sibuk dengan kamera masing-masing, kadang-kadang saling foto. Setelah
itu baru mulai mengelilingi candi untuk melihat berbagai relief yang
terukir di dinding candi. Bagi yang belum mengetahui tentang cerita pada
relief itu bisa membaca pada bagian “Relief Candi Jago” di atas,
membacanya pada papan informasi di dalam kompleks Candi Jago atau
membeli buku yang disediakan oleh pengelola seharga Rp. 15.000.
Tidak banyak waktu yang dihabiskan untuk memotret pemandangan di Candi
Jago ini, karena memang kompleksnya tidak terlalu luas. Setelah itu
sempat bertanya sebentar kepada pengelola tentang waktu buka. Katanya
sih dibuka mulai pukul 07:00 hingga 16:00 setiap harinya, namun
terkadang bisa sampai 17:00 jika penjaganya masih ingin berlama-lama
atau masih banyak pengunjung di dalam kompleks candi. Jadi bagi yang
ingin datang ke Candi ini, pastikan untuk tiba sesuai jam
operasionalnya. Tapi kalau hanya mau lihat foto-fotonya, dibawah ini ada
tambahan foto di Candi Jago Malang oleh
nnoart.