Selasa, 22 November 2016

museum trowulan

Seorang Bupati Mojokerto yang bernama R.A.A. Kromodjojo Adinegoro memiliki jasa besar atas pendirian Museum Trowulan. Diawali atas prakarsanya dan seorang arsitek Belanda bernama Henry Maclaine Pont mendirikan Oudheeidkundige Vereebeging Majapahit (OVM) pada tanggal 24 April 1924 yaitu suatu perkumpulan yang bertujuan meneliti peninggalan-peninggalan Majapahit. OVM menempati sebuah bangunan di Trowulan yang terletak di Jalan Raya antara Mojokerto dan Jombang (sekarang Kantor BP3 Trowulan).

Seiring dengan perkembangan waktu maka OVM memiliki jumlah koleksi yang melimpah bahkan beberapa temuan berasal dari luar Situs Trowulan. Semakin banyaknya jumlah koleksi tersebut maka pada tahun 1926 para pemrakarsa OVM berniat mendirikan Museum yang bernama Museum Trowulan. Museum ini terbuka untuk umum dan didirikan bangunan khusus untuk ruang pamernya.

Pada masa pendudukan Jepang (1942), museum sempat ditutup untuk umum karena Henry Maclaine Pont ditawan oleh Jepang. Guna menjaga aset museum tersebut maka pemerintah mengambil alih pengelolaannya.

Semenjak Indonesia merdeka maka pengelolaan dilakukan oleh bangsa sendiri melalui lembaga Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SPSP) yang sekarang bernama Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Timur. Kantor tersebut selain mengelola museum juga melakukan perlindungan benda purbakala di seluruh wilayah Jawa Timur sehingga Museum Trowulan pada akhirnya menampung benda cagar budaya yang rawan rusak atau hilang di tempat aslinya. Museum akhirnya berpindah ke arah selatan berganti nama menjadi Balai Penyelamatan Arca. Penamaan tersebut didasarkan atas fungsinya yaitu lokasi penyelamatan arca dan sejenisnya. Walaupun nama tersebut sudah berubah tetapi masyarakat masih mengenal dengan nama Museum Trowulan.

Jumlah koleksi Museum Trowulan semakin bertambah banyak pada tahun 1999 karena adanya pemindahan dan penggabungan koleksi Gedung Arca Mojokerto dengan Museum Trowulan. Penembahan koleksi tersebut terutama berasal dari koleksi R.A.A. Kromodjojo Adinegoro pada masa sebelumnya yang disimpan di Gedung Arca Mojokerto tersebut.

Mulai tanggal 3 November 2008 secara resmi nama Balai Penyelamatan Arca atau Museum Trowulan berganti nama menjadi Pusat Informasi Majapahit (PIM) yang diresmikan langsung oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Jero Wacik. Penamaan tersebut didasarkan atas peningkatan kebutuhan masyarakat akan informasi tentang Majapahit baik oleh peneliti maupun masyarakat umum. Sebuah informasi terpadu baik berupa data tertulis, digital, gambar maupun peninggalan pada zaman Majapahit nantinya dapat diakses secara lengkap di Pusat Informasi Majapahit tersebut.

Walaupun nama dan bentuk kegiatannya sudah mengalami perubahan dan perkembangan, tetapi fungsi dan tujuan dasarnya tidak berubah yaitu tetap sebagai museum dan Balai Penyelamatan Benda Cagar Budaya di Jawa Timur. Bahkan sekarang beragam bentuk kegiatan mampu dilaksanakan di Pusat Informasi Majapahit tersebut, sebagai contoh kegiatan outbond yang mampu menampung sekitar 800 orang. Bertambahnya nilai penyajian dan bentuk kegiatan di PIM mampu mendongkrak pula nilai museum bukan hanya sekedar tempat mengumpulkan benda-benda antik tetapi juga sebagai sarana hiburan keluarga dan kelompok masyarakat. Bahkan siswa-siswa di sekitar Mojokerto hampir setiap akhir pekan selalu mengadakan kegiatan kunjungan atau hanya sekedar melaksanakan kegiatan outbond di kompleks PIM tersebut.

Koleksi PIM
Dominasi koleksi di PIM (Museum Trowulan) adalah benda-benda cagar budaya yang ditemukan di sekitar Situs Trowulan atau peninggalan pada zaman Majapahit. Melalui peninggalan tersebut kita dapat mengetahui aspek budaya yang pernah terjadi pada zaman Majapahit seperti bidang pertanian, irigasi, arsitektur, perdagangan, perindustrian, agama dan kesenian. Koleksi tersebut dipajang di gedung atau ruang terbuka berbentuk pendopo atau halaman museum.

Berdasarkan bahannya, maka koleksi PIM yag dipamerkan dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok yaitu sebagai berikut.

1.Koleksi tanah liat (terakota)
Koleksi ini mencakup terakota manusia (figurin), alat-alat produksi, alat-alat rumah tangga, dan arsitektur.
2.Koleksi keramik
Koleksi keramik beragam bentuk antara lain guci, teko, piring, mangkok, sendok, dan vas bunga. Koleksi tersebut dapat diketahui umur relatifnya dan asal negaranya antara lain berasal dari Cina, Thailand, dan Vietnam.
3.Koleksi logam
Koleksi logam dapat diklasifikasikan berdasarkan bentuknya dan fungsinya antara lain uang kuno, alat-alat seperti bokor, pedupaan, lampu, guci, cermin, genta, dan alat musik.
4.Koleksi batu
Koleksi berbahan batu dapat diklasifikasi menjadi koleksi miniatur dan komponen candi, koleksi arca, koleksi relief, dan koleksi prasasti. Selain itu juga terdapat koleksi lain yang berbahan batu yaitu alat-alat dan fosil binatang.
sumber.http://museummajapahit.blogspot.co.id/p/tentang-museum.html
Share:

Senin, 21 November 2016

siti inggil trowulan

Bagi sobat Wisesatravel yang tertarik dengan wisata budaya dan berkeinginan mempelajari sejarah peradapan masa lampau, selain mengunjungi komplek makam Troloyo, dapat juga berkunjung ke komplek pemakaman Siti Inggil. Kedua-duanya masih berada dalam satu kawasan di kota yang sama yaitu kota Mojokerto. Siti Inggil diartikan Tanah yang Tinggi, atau Tanah yang diagungkan merupakan sebuah tempat persinggahan dan pertapaan dari Raja I kerajaan Majapahit bernama Raden Wijaya. Siti Inggil lebih tepatnya berada di Dusun Kedungwulan, Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Mojokerto. Pada awalnya Siti Inggil adalah sebuah punden yang berada di Dusun Kedungwulan dan mempunyai nama Lemah Geneng, yang mempunyai arti Siti Inggil. Sebelum bercerita lebih banyak tentang Siti Inggil, ada baiknya kita mengenal siapa sebenarnya Raden Wijaya, berbicara tentang Mojokerto tentu tidak dapat terlepas dari sejarah masa lampau yang menyebutkan bahwa di Mojokerto terdapat satu kerajaan besar bernama Majopahit yang mempunyai kekuasaan begitu luas hampir seluruh wilayah SeAsia Tenggara. Raden Wijaya yang merupakan keturunan dan kerajaan Singosari adalah pendiri kerajaan Majaphit, yang mendirikan Majapahit pada tanggal 15 bulan Kartika tahun 1215 atau kalau dalam bulan Masehi tepatnya pada 12 November 1293. Masa keeemasan kerajaan Majaphit adalah ketika Raden Wijaya memerintah dengan seorang Maha Patih bernama Gajah Mada, yang terkenal dengan Sumpah Palapanya, menyatukan Nusantara dan menguasai hampir seluruh wilayah Asia Tenggara.

Siti Inggil Wisata Budaya Berbalut Misteri
Kembali ke Siti Inggil, di depan makam Raden Wijaya akan kita dapati dua makam yang di sebut sebagai makam atau bersemayamnya Kyai Sapu Jagad dan Kyai Sapu Angin, namun tidak diperoleh keterangan dan informsi yang jelas mengenai kedua makam tersebut. Bila kita jeli dan mengamati makam Raden Wijaya akan kita temukan keanehan, karena di makam ini sangat khas dan kental dengan nuansa Islam, sedangkan kita semua mengetahui bahwa Raden Wijaya adalah seorang Raja yang memegang teguh agama Hindhu. Ada beberapa sumber yang mengatakan bahwa komplek makam Siti Inggil sebenarnya hanya sebagai symbol bukan tempat bersemayamnya atau tempat di makamkannya Raja Raden Wijaya. Siti Inggil hanya berfungsi sebagai petilasan atau pertapaan Raden Wijaya, karena mempunyai kemampuan spiritual yang tinggi Raden Wijaya di percaya Mukso, dalam terminologi Jawa Mukso dapat diartikan hilang tanpa bekas, meninggal tanpa meninggalkan jenazah atau tubuh, semuanya masih tetap menjadi misteri sampai saat ini.
Indonesia memang kaya dengan keindahan alam, seni, budaya bahkan peninggalan purbakala, semuanya mengundang minat banyak wisatawan baik domistik dan mancanegara untuk menyaksikan serta menikmati keindahan dan keunikannya. Sudah seharusnya kita berbangga menjadi bagian dari nusantara tercinta ini, hanya satu pesan yang harus tetap kita ingat “jaga dan lestarikan apa yang telah dititipkan Tuhan kepada kita, tanpa syarat dan tanpa embel-embel apapun, lakukan semua bukan hanya demi kita, tetapi demi anak cucu kita kelak, agar mereka tetap bisa menikmati keindahan yang di berikan Tuhan kepada negara kita ini”. Jayalah terus Indonesiaku.
sumber.http://www.wisesatravel.com/2015/03/siti-inggil-wisata-budaya-berbalut.html
Share:

candi mojojajar

Mojokerto, INDDIT.com – Bangunan kuno menyerupai candi ditemukan di dusun Gapuro, Desa Mojojajar, Kemlagi, Mojokerto, Rabu (28/09/2016).
Penemuan candi tersebut bermula saat para pekerja bangunan hendak menggali tanah untuk membangun pondasi Posyandu di lahan bekas lapangan voli.
“Awalnya yang menemukan adalah pekerja yang membangun ini Posyandu. Saat itu mau menggali tanah untuk kebutuhan pondasi,” ujar Kepala Dusun Gapuro, Hendrik Budi Santoso (31) pada okezone, Kamis (29/09/2016).
Dikatakan Hendrik, pembangunan Posyandu sudah berjalan sejak Selasa (27/09/2016) lalu, tetapi pekerja baru menemukan situs tersebut pada Rabu (28/09/2016).
“Saat itu para pekerja membuat lubang pondasi bangunan Posyandu seluas 8x12 meter,” katanya.
Keanehan mulai terjadi setelah lubang pondasi mencapai kedalaman 30 centimeter, mata cangkul para pekerja membentur benda keras.
“Setelah dilakukan pengecekan ternyata mata cangkul membentur tumpukan batu bata kuno. Batu bata kuno yang kami temukan ini setelah kami cek bentuknya tidak sama.”
“Ada yang tebal 6 centimeter, lebar 7 centimeter dan dengan panjang 30 centimeter. Ada yang lebar 19 centimeter, panjang 28 centimeter dan tebal 6.5 centimeter,” beber Hendrik.
Lebih lanjut Hendrik mengatakan bahwa penemuan tersebut telah dilaporkan ke aparat setempat dan untuk sementara penggalian di lokasi penemuan dihentikan.
Kaur Pembangunan Desa Mojojajar selaku Ketua Pelaksana Kegiatan, Sukardi memastikan pihaknya telah berkoordinasi dengan camat setempat yang kemudian meneruskannya ke Badan Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Mojokerto.
“Sementara pembangunannya kami hentikan dulu sambil menunggu penelitian dari BPCB karena kami tidak ingin merusak bangunan yang diduga situs candi tersebut,” ujar Sukardi.
sumber.http://www.inddit.com/s-emkmd6/bangunan-kuno-menyerupai-candi-ditemukan-di-mojokerto
Share:

sumur gantung

Terletak di Desa Berat Wetan, Kecamatan Gedeg, fisik candi berupa tumpukan batu bata setinggi 3 meter. Pada bagian atas terdapat libang sumur persegi dengan panjang sisi 120 cm. Sekitar tahun 1940-an lubang tersebut masih mengeluarkan air, tetapi sekarang sudah kering. Konon, menurut cerita rakyat, tersebutlah Adipati Bulun Kecantikan putri ini sangat tersohor, sehingga menarik minat seorang petinggi kerajaan Mojopahit untuk memperistri. Sang putri mengajukan syarat, sang petinggi harus mampu membuat sumur yang airnya lebih tinggi dari sumber air dan permukaan sungai. Demi memperoleh cinta sang putri, maka dibuatlah sebuah sumur disekeliling pohon besar yang dinamakan sumur gantung. Terlepas dari benar tidaknya cerita rakyat ini, jika sumur ini pernah mengeluarkan air, berarti pada masa Majapahit telah mengenal teknologi sumur artesis atau minimal sumur resapan. Ini membuktikan bahwa disamping sistem kanal dan waduk, Majapahit telah menguasai teknik hidrologi bangunan air.
sumber.http://disporabudpar.mojokertokab.go.id/wisata_204_candi-sumur-gantung.aspx
Share:

Minggu, 20 November 2016

candi gentong trowulan

andi Gentong merupakan satu kesatuan dengan Candi Tengah dan Candi Gedong. Karena dianggap punya peran besar dalam rekonstruksi peninggalan Majapahit, pemerintah melalui proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Bekas Kota Kerajaan Majapahit berusaha untuk melakukan penggalian. Hasilnya, ditemukan stupa dan arca-arca Buddha., Di luar itu, ditemukan fakta denah sebuah candi yang organisasi ruangnya unik, bahkan boleh dibilang paling unik di Indonesia.
Denah Candi Gentong tersusun dari tiga bangunan bujur sangkar yang memusat. Bujursangkar pertama atau yang paling kecil, meiliki panjang dan lebar 9,25 meter. Lalu bangunan kedua, berukuran 11,40 dan bangunan ketiga berukuran 23,5X23,5 meter.

Candi Gentong
Kenyataan yang ada di Candi Tikus, Gapura Wringin Lawang dan Candi Bajang Ratu, sangat berbeda dengan realitas yang ada di Candi Menakjinggo, Candi Gentong, Candi Sumur Upas, Candi Kedaton, dan Situs Sentonorejo atau Situs Lantai Segi Enam.
Misalnya di Candi Menakjinggo yang terletak di Dukuh Unggah-Unggahan, Desa Trowulan. Pengunjung hanya disuguhi puing-puing dan pondasi candi yang berhias lumut dan berserakan. Meski begitu, Menakjinggo tetap menyimpan pesona. Misal, di sisi batu-batuan andesit itu ada serpihan relief yang diam-diam menyimpan banyak cerita. Diantaranya kisah petualangan Si Kancil yang dengan cerdik berhasil menaklukkan buaya.

Selebihnya, ada beberapa bagian candi dipindah ke Balai Penyelamatan Arca Trowulan. Misalnya, dua relief berukuran besar yang menggambarkan seorang wanita berbadan ikan dan raksasa bersayap yang dikenal dengan sebutan Arca Menakjinggo. Sedangkan sejumlah arkeolog mengatakan, arca ini bernama Arca Garuda.

Di kalangan masyarakat sekitar, candi ini dikenal dengan sebutan Sanggar Pamelengan. Konon, candi ini dibangun Menakjinggo, Bupati Blambangan, sebagai bentuk pemujaan atau pamelengan pada Ratu Kenconowungu.

Sama dengan Candi Menakjinggo, di Dukuh Jambu Mente, Desa Bejijong, terdapat sebuah candi yang diawal penemuannya sempat mengejutkan masyarakat. Mengutip catatan Edi Pion, Arkeolog yang tinggal di Mojokerto, candi berukuran 23,5X23,5 meter dan tinggi 2,45 meter ini relatif lebih besar dibanding Candi Brahu, Wringin Lawang, bahkan Bajangratu. Berdasar beberapa catatan jaman Belanda, bangunan ini dikenal sebagai Candi Gentong.

Misalnya dalam Rapporten Oudheidkundige Commisie disebutkan, tahun 1907, di Desa Trowulan terdapat Candi Gentong yang tinggal puing-puing. Fakta ini diperkuat dengan tulisan NJ Krom di Inleiding tot de Hindoe Javaansche Kuns pada tahun 1923 dan pernyataan Maclaine Pont, pendiri Museum Trowulan.

Berdasar analisa carbon dating yang diteliti di Pusat Pengembangan dan Penelitian Geologi Bandung, diketahui, candi ini dibangun pada tahun 1370. Artinya, Candi Gentong berasal dari zaman pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1350-1389). Dari data denah bangunan didukung temuan-temuan arkeologis lain, Candi Gentong dulu merupakan bangunan stupa yang relatif besar di bagian pusat, kemudian dikelilingi oleh stupa-stupa yang lebih kecil.
sumber.http://mojoklik.blogspot.co.id/2015/01/sejarah-candi-gentong.html
Share:

borobudur jateng

andi borobudur merupakan warisan budaya indonesia yang sudah terkenal sampai ke seluruh dunia bangunan ini merupakan candi budha terbesar didunia dan ditetapkan sebagai salah satu warisan budaya dunia oleh UNESCO.bentuknya yang megah dan detail arsitekturnya yang unik membuat semua orang ingin mengunjungi borobudur yang penasaran dengan ceritanya,borobudur mencuri perhatian dunia sejak HC cornelius menemukan lokasinya atas perintah Sir Thomas Stamford Raffles pada tahun 1814.pekerjaan menggali lokasi yang diduga monumen besar kemudian dilanjutkan oleh hotman salah satu pejabat pemerintah belanda yang saat itu para arkeolog berlomba lomba mencari tahu asal usul candi budha terbesar didunia ini


asal usul candi borobudur

candi borobudur diyakini merupakan peninggalan kerajaan Dinasti Sailendra masa pemerintahan raja Samaratungga dari Kerajaan Mataram Kuno dan selesai dibangun pada abad ke-8.banyak sekali misteri candi borobudur yang belum terkuak ,apa sebenarnya nama asli candi borobudur tidak ada prasasti atau buku yang menjelaskan dengan pasti tentang pembanguan borobudur,ada yang mengatakan nama tersebut berasal dari nama samara budhara memiliki arti gunung yang lerengnya terletak teras teras ada juga yang mengatakan borobudur berasal dari ucapan para budha yang mengalami pergeseran satu satu nya tulisan yang menyebutkan borobudur pertama kali adalah thomas Sir Thomas Stamford Raffles dalam bukunya yang berjudul sejarah pulau jawa .para ahli sejarah memperkirakan Sir Thomas Stamford Raffles menyebut borobudur dari kata bore dan budur ,bore artinya ialah desa sebuah desa yang terletak di dekat lokasi letak candi borobudur ditemukan sedangkan budur artinya purba

sejarah berdirinya candi borobudur diperkirakan dibangun pada tahun 750 masehi oleh kerajaan syailendra yang pada waktu itu menganut agama budha,pembangunan itu sangat misterius karena manusia pada abad ke 7 belum mengenal perhitungan arsitektur yang tinggi tetapi borobudur dibangun perhitungan arsitektur yang canggih ,hingga kini tidak satu pun yang dapat menjelaskan bagaimana cara pembangunan dan sejarah candi borobudur ini

Sudah banyak ilmuan dari seluruh penjuru dunia yang datang namun tidak satu pun yang berhasil mengungkapkan misteri pembangunan borobudur. Salah satu pertayaan yang membuat para peneliti penasaran adalah dari mana asal batu-batu besar yang ada di candi borobudur dan bagai mana menyusunnya dengan presisi dan arsitektur yang sangat rapih. Ada yang memperkirakan batu itu berasal dari gunung merapi namun bagaimana membawanya dari gunung merapi menuju lokasi candi mengingat lokasinya berada di atas bukit.

Candi borobudur memiliki 72 stupa yang berbentuk lonceng ajaib, Stupa terbesar terletak di puncak candi sementara yang lain mengelilingi stufa hingga kebawah. Ketika ilmuan menggambar denah candi borobudur, mereka menemukan pola-pola aneh yang mengarah pada fungsi borobudur sebagai jam matahari, jarum jamnya berupa bayangan stupa yang besar dan jatuh tepat di stupa lantai bawah  namun belum di ketahui secara pasti bagaimana pembagian waktu yang di lakukan dengan menggunakan candi borobudur ada yang mengatakan jam pada candi borobudur menunjukan tanda kapan masa bercocok tanam atau masa panen.

misteri candi borobudur dan angka 1

Bagian dalam rangka arsitektur candi borobudur bila di amati secara matematik ada misteri yang menarik yang mengarah dari angka satu, beberapa bilangan yang berada di candi bila di jumlahkan angkanya akan selalu menghasilkan angka satu bagaimana ceritanya, sebelum menceritakan misteri angka satu perlu di ketahui tentang tingkatan ranas spiritual budha yang ada di candi borobudur. Tingkatan yang pertama adalah Kamadhatu yaitu dunia yang masih di kuasai oleh kama atau nafsu rendah bagian ini sebagian besar tertutup oleh tumpukan batu yang di buat untuk memperkuat konstruksi candi tingkatan kedua adalah rupadhatu yaitu dunia sudah bisa membebaskan diri dari nafsu tetapi masih terikat rupa dan bentuk area tersebut adalah 4 pundak teras yang membentuk korang kriling yang ada pada dindingnya di hiasi galery relief lantai yang berbentuk persegi pada 4 lorong itu ada 1.400 gambar relif panjang relif seluruhnya 2 setengah kilometer dengan 1.212 panel dekoratif tingkatan ketiga adalah Arupadatu merupakan tingkatan tertinggi yang melambangkan ketiadaan wujud yang sempurna pada area ini denah lantai yang berbentuk lingkaran yang melambangkan bahwa manusia telah bebas dari segala keinginan dari ikatan bentuk dan rupa namun belum mencapai Nirwana. Pertama candi borobudur memiliki 10 tingkatan jika di jumlahkan 1 di tambah 0 hasilnya 1 angka satu lainnya mucul pada area Arupadatu area ini adalah area 4 tingkat paling atas candi, pada tingkat pertama terdapat satu candi tingkat kedua terdapat 16 candi tingkat ketiga terdapat 24 candi tingkat ke 4 terdapat 32 candi jumlah candi yang berada di area arupadhatu adalah 73 buah jika di jumlahkan 7 dan 3 hasilnya adalah 10 dan jika di jumlahkan lagi 1 dengan 0 hasilnya 1. angka satu yang terakhir muncul pada jumlah keseluruhan pada patung candi borobudur ada 505 buah patung disana bila angkanya di jumlahkan hasilnya juga angka satu

Candi Borobudur dibangun diatas sebuah danau Purba

gambar candi borobudur
gambar candi borobudur -Wikipedia
Misteri tentang adanya danau purba muncul ketika seorang seniman belanda mengajukan sebuah teori bahwa dulunya dataran gedung tempat borobudur berdiri merupakan sebuah danau, jika di lihat dari atas borobudur melambangkan sebuah bunga teratai, teratai biasanya tumbuh di atas air postur budha yang berada di puncak borobudur melambangkan sutra teratai yang banyak di temui dalam naskah agama budha teori ini menimbulkan pertentangan yang cukup pelik. Para arkeolog menemukan bukti-bukti arkeologi yang membuktikan bahwa kawasan sekitar borobudur pada masa pembangunan candi adalah dataran kering bukan dasar danau purba sementara pakar geologi malah mendukung seniman Belanda ini. Mereka menemukan endapan senimen lumpur di dekat candi penelitian ini di lakukan tahun 2000 dan mendukung keberadaan danau purba di sekitar borobudur bukti tersebut menunjukan bahwa dasar bukit dekat borobudur pernah kembali terendam dan menjadi tepian danau sekitar abad ke-13 dan ke-14. itulah penjelasan tentang candi borobudur yang membuktikan bahwa nenek moyang kita mampu membuat karya megah sepanjang masa semoga karya ini terjaga dari generasi ke generasi.

relief candi borobudur dan kisah mahabarata

Didalam candi borobudur terdapat sebuah relief yang mengisahkan tentang satu karya sastra yang cukup terkenal yaitu MAHABARATA.maha barata ini sebenarnya bukan kisah nyata dan juga bukan kitab agama karena penulisnya bukan Nabi tapi maha barata ini karya sastra dalam kitab adi parwa itu maha barata kitab pertama nah ada kisah mengenai pandawa dan kurawa keduanya leluhurnya sama yaitu bangsa kuru tapi mempunyai sifat yang berbeda kurawa kususnya durya dana itu mempunyai sifat yang licik dia penngen kuasai ini warisan kerajaan oleh kelompoknya kurawa atau yang terwakili 100 orang dengan duryadana ini. Maka durya dana mengundang kunti ibunya pendawa maka dengan anaknya lima pendawa lima di undang untuk pergi ke suatu tempat untuk bermalam dan bermain di sana nahh ketika mereka bermalam maka rumahnya tuh di bakar untung kunti dan pandawa tidak terbakar hidup-hidup tapi bisa meloloskan diri dan menyelamatkan di hutan di dekatnya. Dalam perjalannya di tengah hutan maka pandawa sampai pada kerajaan yang namanya pancala rajannya drupada,di kerajaan itu sedang ada sayembara untuk memperebutkan banyak hal tapi di antaranya adalah memperebutkan drupadi itu adalah drupadi ini putri kerajaan pancala ini lalu pandawa ini menggunakan pakaian penyamaran pakaian brahmana mengikuti sayembara dan tentunya arjuna yang mewakili dia mempunyai kehebatan dalam hal memanah memenangkan sayembara ini. Sesampainya pandawa di rumah dia menceritakan kepada ibunya kunti kemenangan tersebut, "kami memenangkan sayembara kami dapat hadiah lalu ibunya dengan suara berwibawa seorang ibu begini nak apapun yang kamu dapatkan kamu harus adil itu hadiah harus di bagi lima tapi ibu, tetapi tidak alasan kamu harus mendengar orang tua di bagi rata, tapi bu , tidak tapi-tapian. lalu sepakat di bagi lima nah kunti ibunya baru tahu bahwa hadiahnya termasuk drupadi seorang wanita karena tidak mau menjilat lidahnya dan kata-katanya maka apa boleh buat drupadi harus menikahi 5 orang laki-laki
sumber.http://www.anton-nb.com/2015/09/sejarah-candi-borobudur.html
Share:

candi tikus

Sejarah Candi Tikus

Terletak di dukuh Dinuk, Desa Temon, Kecamatan Trowulan. Dari Candi Bajangratu ke arah tenggara sekitar 500 m. Candi Tikus adalah sebuah candi peninggalan Kerajaan Majapahit yang terletak di kompleks Trowulan, Kabupaten Mojokerto, di Trowulan. Bangunan Candi Tikus berupa tempat ritual mandi (petirtaan) di kompleks pusat pemerintahan Majapahit. Bangunan utamanya terdiri dari dua tingkat.

Candi Tikus diperkirakan dibangun pada abad ke-13 atau abad ke-14. Candi ini dihubungkan dengan keterangan Mpu Prapanca dalam kitab Nagarakretagama, bahwa ada tempat untuk mandi raja dan upacara-upacara tertentu yang dilaksanakan di kolam-kolamnya. Arsitektur bangunan melambangkan kesucian Gunung Mahameru sebagai tempat bersemayamnya para dewa. Menurut kepercayaan Hindu, Gunung Mahameru merupakan tempat sumber air Tirta Amerta atau air kehidupan, yang dipercaya mempunyai kekuatan magis dan dapat memberikan kesejahteraan, dari mitos air yang mengalir di Candi Tikus dianggap bersumber dari Gunung Mahameru.


Candi ini disebut Candi Tikus karena sewaktu ditemukan merupakan tempat bersarangnya tikus yang memangsa padi petani. Di tengah Candi Tikus terdapat miniatur empat buah candi kecil yang dianggap melambangkan Gunung Mahameru tempat para dewa bersemayam dan sumber segala kehidupan yang diwujudkan dalam bentuk air mengalir dari pancuran-pancuran/jaladwara yang terdapat di sepanjang kaki candi.

Air ini dianggap sebagai air suci amrta, yaitu sumber segala kehidupan. Situs candi ini digali pada tahun 1914 atas perintah Bupati MojokertoKromodjojo Adinegoro. Karena banyak dijumpai tikus pada sekitar reruntuhannya, situs ini kemudian dinamai Candi Tikus. Candi Tikus baru dipugar pada tahun 1985-1989.

Dulu, ada petani dari Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Mojokerto gelisah karena serbuan tikus sawah. Hasil tani yang biasanya cukup untuk menghidupi seluruh anggota keluarga, kini nyaris tak tersisa. Tak tahan menghadapi serbuan tikus, ia memohon pada Sang Pencipta. Suatu malam, Si Petani mendapat wisik (wangsit,) agar mengambil air di kawasan Candi Tikus lalu menyiramkan air itu ke empat sudut sawah.

Sebuah keajaiban terjadi. Tikus-tikus yang biasanya kerap beraksi di malam hari hilang begitu saja. Tanah sawah juga mendadak jadi subur. Si Petani tak kuasa menahan kegembiraannya dan bercerita pada warga desa.

Beberapa saat kemudian, ada saudagar kaya mendengar kabar tentang khasiat air Candi Tikus. Dengan rakus, ia mencari jalan pintas untuk menambah kekayaannya. Suatu malam, ia mencuri batu candi dan meletakkannya di sudut-sudut sawah. Lagi-lagi sebuah kejaiban terjadi.

Tapi kali ini, tikus-tikus malah datang dan menghabisi padi di sawah. Fenomena ini membuat warga desa sadar, bahwa mereka tak bisa berharap lebih. "Kami hanya bisa memanfaatkan air di Candi Tikus, tapi bukan batu-batu candi," kata mereka. Dan mitos ini, ternyata masih dipercaya hingga kini.

Di sisi lain, ada mitos lain yang berkembang kebalikannya. Pada tahun 1914, candi ini ditemukan oleh Bupati Mojokerto, RAA Kromojoyo Adinegoro. Sebelumnya, ia mendengar keluh kesah warga Desa Temon yang kalang kabut karena serbuan hama tikus di sawah mereka. Tanpa pikir panjang, Kromojoyo memerintah aparat desa agar memobilisasi massa dan menyatakan perang pada tikus. Anehnya, saat terjadi pengejaran, tikus-tikus itu selalu lari dan masuk dalam lobang dalam sebuah gundukan besar.

Karena ingin membersihkan tikus sampai habis, Kromojoyo memilnta agar gundukan itu dibongkar. Ternyata, di dalam gundukan terdapat sebuah candi. Melihat sejarah penemuannya, Kromojoyo memberi nama Candi Tikus.

Memasuki masa kemerdekaan, Candi Tikus yang mulai rusak dipugar setahap demi setahap. Puncaknya, Candi Tikus dipugar pada tahun 1984 hingga 1989. Tentu, pemugaran ini dilakukan dengan ekstra hati-hati agar tak berseberangan dengan tampilan asli. Kini, masyarakat bisa melihat Candi Tikus sebagai aset wisata sejarah yang kaya sentuhan estetika.

Secara keseluruhan, candi ini lebih mirip dengan petirtaan. Bangunannya dibangun di atas tanah yang lebih rendah 3,5 meter dari tanah di sekitarnya. Untuk mendekati candi, kita harus melewati tangga masuk di sisi utara. Dari situ, kita bisa melihat candi berukuran 29,5X28,25 meter dan tinggi keseluruhan 5,2 meter ini dari dekat.

Sampai sekarang, Candi Tikus masih sering dijadikan ajang penelitian ahli purbakala dari dalam dan luar negeri. Kebanyakan, mereka ingin merangkai fakta sekaligus antitesis sebuah teori yang menyebut, semua bangunan yang berasal dari masa pengaruh agama Hindu - Budha abad 5-15 M adalah candi. Padahal, bangunan-bangunan itu tak selalu berfungsi sebagai sarana pemujaan.

Sebagai bangunan berkarakter khas, Candi Tikus adalah icon yang berseberangan dengan teori itu. Karena Candi Tikus memiliki pancuran dan saluran air yang konon berperan besar sebagai pengatur debit air di Majapahit. Di luar itu, Candi Tikus juga memiliki daya tarik yang tak bisa lepas dari rangkaian situs Majapahit yang tersebar di Trowulan.

Candi Tikus merupakan salah satu bangunan yang mempunyai nilai eksotisme tersendiri. Selain memiliki arsitektur yang cukup unik dengan ornamen pada bangunan induk yang dihiasi pancuran air berbentuk makara dan padma, candi tersebut juga memiliki dua kolam dan saluran-saluran air yang mengandung struktur petirtaan. Adanya pancuran air di Candi Tikus (jaladwara) yang berbentuk makara dan padma, makara merupakan perubahan bentuk tunas-tunas yang keluar dari bonggol teratai, sedangkan padma merupakan teratai itu sendiri.

Secara keseluruhan candi itu dapat dikategorikan sebagai bangunan petirtaan. Mengenai keterangan akar kronologis tentang Candi Tikus dapat dikaitkan dengan uraian dalam kitab Nagarakartagama yang ditulis oleh Prapanca (1385 M). Dalam kitab tersebut pada pupuh 27 dan 29 menyebutkan adanya tempat pemandian (petirtaan) raja yang dikunjungi Hayam Wuruk dan keterangan yang menyebutkan adanya upacara-upacara tertentu yang dirayakan di kolam-kolam.

Meskipun dalam kitab tersebut Prapanca tidak menyebutkan secara eksplisit mengenai nama Candi Tikus, namun diyakini oleh sebagian besar pengamat situs kebudayaan purbakala, salah satu tempat pemandian yang dimaksudkan dalam kitab Nagarakartagama adalah Candi Tikus, terkait dengan letak bangunan yang masih berada di kawasan Kerajaan Majapahit.

Di sisi lain, menara-menara (bangunan miniatur yang mengelilingi bangunan induk) merupakan bagian terpenting dari gubahan arsitektur abad ke XIII-XIV. Secara tidak langsung bangunan candi itu dapat diyakini didirikan pada abad ke XIII-XIV, premis ini semakin memperuncing kebenaran bahwa yang dimaksud dalam kitab Nagarakartagama mengenai petirtaan yang dikunjungi oleh Hayam Wuruk dan kolam-kolam yang dijadikan sebagai tempat untuk mengadakan prosesi upacara-upacara tertentu, salah satunya adalah Candi Tikus.



Meskipun Candi Tikus sempat tenggelam dari panggung sejarah dan kembali tampil sekitar 1914, setelah diadakan penggalian terhadap tanah yang menutupinya dan adanya beberapa kerusakan fisik yang hampir menyusutkan eksotisme bangunan tersebut.

Namun autentisitas nilai dan kandungan filosofis yang terdapat dalam keutuhan candi itu hingga dewasa ini masih mampu terlestarikan dengan baik.


Simbolis Gunung Meru

Menurut Bernet Kempers (1954:210), Candi Tikus merupakan replika atau simbolis Gunung Meru. Hal itu terkait dengan konsep religi yang melatarbelakangi bangunan candi, di samping itu model bangunan Candi Tikus yang makin ke atas makin mengecil dan pada bangunan induk seakan-akan terdapat puncak utama yang dikelilingi oleh delapan puncak yang lebih kecil, menurut Bernet, model tersebut ada kemiripan tersendiri dengan bentuk utuh Gunung Meru.

Secara mitologi, Gunung Meru selalu dihubungkan dengan air kehidupan yang dipercaya mempunyai kekuatan magis dalam memberi kekuatan pada semua makhluk hidup. Kepercayaan ini lahir dari konsep Hindu-Buddha yang meyakini gunung tersebut sebagai pusat kehidupan, yang kemudian termanefestasikan dalam bentuk bangunan candi, pemahaman itu hingga dewasa ini masih dikultuskan oleh segenap masyarakat tradisionalis.

Perpaduan konsep Hindu-Buddha dalam bangunan Candi Tikus yang sudah kadung mendarah daging membentuk pola pemikiran dan perilaku masyarakat Jawa. Secara teoritis sebenarnya masyarakat berhasil membangun tempat pemujaan merupakan suatu kebanggaan tersendiri karena tempat tersebut dipercaya sebagai sarana untuk bersua dengan Sang Penciptanya atau sebagai sarana komunikasi dengan Tuhan yang diyakininya.

Lahirnya kebanggaan tersebut secara tidak langsung merupakan percikan dari rasa cinta manusia terhadap zat yang menciptakannya, jangan heran jika kemudian Candi Tikus juga dipersepsikan sebagai salah satu petirtaan tempat diadakannya prosesi upacara-upacara tertentu sebab selain sebagai petirtaan, candi itu juga memilik dimensi religi yang sangat kental tergambar dalam model bangunannya.

Berpijak pada akar kronologis dibangunnya ragam candi pada masa pemerintahan Kerajaan Majapahit, tidak lepas dari pengaruh sosial-kultural masyarakat Jawa yang pada waktu itu masih kebanyakan menganut paham Hindu-Buddha sehingga pasca kepemerintahan Kerajaan Majapahit banyak ditemukan situs purbakala yang berbentuk candi.

Pada dasarnya salah satu unsur terbentuknya candi yang mempunyai replika atau simbolis tersendiri semisal Candi Tikus sebagai lambang Gunung Meru, pertama, guna memberi dukungan emosional dan moral. Kedua sebagai sarana memperkukuh hubungan transendental. Ketiga mengeramatkan nilai-nilai dan norma-norma masyarakat setempat. Keempat memberi identitas pada individu dan kelompok. Kelima, erat hubungannya dengan siklus pertumbuhan (life cycle) Sederhananya,

Candi Tikus yang terletak lebih rendah dari permukaan tanah di sekitarnya, yaitu pada kedalaman sekitar 3,50 m atau sekitar 46,78 m dari permukaan laut, secara umum bangunan ini berdenah bujur sangkar dengan ukuran 22,50 x 22,50 m, apabila dipahami dari konsep yang melatarbelakangi perwujudan bangunan dikaitkan dengan ciri yang ada pada candi tersebut, akan menunjukkan tujuan pembangunan candi itu adalah untuk melambangkan air amrta yang keluar dari gunung.

Simbol-simbol semacam itu sebenarnya mempertegas manusia merupakan makhluk yang penuh dengan lambang, baginya realitas lebih dari sekadar tumpukan fakta-fakta. Ada semacam simbiosis-mutualisme antara makhluk hidup dengan alam yang ada di sekitarnya karena pada dasarnya setiap makhluk hidup sangat dipengaruhi lingkungan sekitar yang menghidupi keberadaan dirinya.

Konsep semacam ini dapat ditemukan dalam konsep triloka yang dibangun dari kepercayaan agama Hindu-Buddha dengan menempatkan semesta pada dua versi antara jagad gedhe (makrokosmos) dan jagat cilik (mikro-kosmos). Penempatan Candi Tikus sebagai simbol keagungan Gunung Meru, secara tidak langsung telah menisbahkan adanya suatu keterkaitan yang erat antara manusia dengan alam yang ada di sekitarnya.

Keyakinan semacam itu sebenarnya tumbuh dari pembacaan awal manusia terhadap gejala alam dengan menggunakan logika dasar. Namun, tidak bisa dinafikan pembacaan semacam itu yang termanefestasikan dalam model bangunan Candi Tikus merupakan salah satu pijakan yang membantu terbentuknya pola pemikiran manusia masyarakat Jawa tradisionalis dan peletak pertama dasar-dasar pemikiran masyarakat Jawa secara general.

Lahirnya premis yang mengatakan mempelajari maupun berusaha mengenali peninggalan-peninggalan purbakala secara implisit merupakan bentuk lain dari belajar mengenali keberadaan diri sendiri. Di satu sisi premis tersebut tidak bisa dibantah kebenarannya karena pada dasarnya peninggalan purbakala selain memiliki momen sejarah yang teramat penting untuk senantiasa diketahui para penerusnya guna menegaskan eksistensinya sebagai masyarakat Jawa.

Di sisi lain, peninggalan purbakala juga menampung beberapa kandungan makna filosofis yang teramat penting untuk dipelajari oleh para generasi muda masyarakat Jawa. Berpijak pada UU No 5/1992, tentang Benda Cagar Budaya Pasal 2 yang berbunyi, perlindungan benda cagar budaya dan situs bertujuan melestarikan dan memanfaatkannya untuk memajukan kebudayaan nasional Indonesia.

Maka sudah selayaknya pelestarian terhadap peninggalan purbakala seperti Candi Tikus yang terletak di daerah Trowulan, tepatnya di dukuh Dinuk, Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Mojokerto semakin digalakkan. Menziarahi Candi Tikus secara tidak langsung membuka diri untuk memasuki dimensi lain tempat para leluhur masyarakat Jawa melalukan prosesi ritual penyerahan diri terhadap Sang Pencitanya.


Candi Tikus, Pengatur Debit Air Majapahit

Sudah bukan rahasia lagi bila mendengar nama candi. Benak kita lantas tertuju pada suatu bangunan (terbuat dari batu atau bata merah) yang berasal dari masa silam yang berfungsi sebagai sarana pemujaan. Ini tidak keliru, karena memang candi berfungsi sebagai sarana untuk melakukan suatu ritual pemujaan.

Namun di Indonesia, tampaknya ada semacam pandangan yang menyatakan bahwa segala bangunan yang berasal dari masa pengaruh agama Hindu - Budha (abad V - XV M) sering disebut segabagai candi. Padahal, bangunan-bangunan itu belum tentu berfungsi sebagai sarana pemujaan. Salah satu contoh dalam bangunan kuno yang sudah terlanjur disebut candi adalah candi Tikus di Jawa Timur.

Sejak ditemukan pertama kalinya pada tahun 1914, kemudian sampai dilakukan pemugaran sekitar tahun 1983 - 1986, candi Tikus yang secara administratif terletak di dukuh Dinuk, Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kbaupaten Mojokerto, Jawa Timur, telah banyak mengundang perhatian para pakar sejarah kuno dan arkeologi.

Betapa tidak! Letaknya yang berada dibawah permukaan tanah (sekitar 3,5 meter) dengan beberapa pancuran air dan saluran-saluran air serta mengingat lokasinya yang berada di Trowulan (yang diduga kuat merupakan bekas ibukota kerajaan Majapahit), telah mengusik perhatian para pakar untuk menentukan makna dan fungsi dari bangunan itu, baik dari segi arsitektural naupun ditinjau dari segi religius.


Dua Tahap Pembangunan

Secara pasti, tidak diketahui kapan candi Tikus ini didirikan karena tidak adanya sumber sejarah yang memberitakan tentang pendirian candi Tikus ini.

Dalam kitab Nagarakertagama yang ditulis oleh Prapanca pada tahun 1365 M (yang telah diakui oleh para pakar sebagai suatu sumber sejarah yang cukup lengkap memuat tentang kerajaan Majapahit, khususnya pada masa pemerintahan raja Hayam Wuruk), tidak disebutkan tentang eksistensi candi Tikus ini.

Namun demikian, ini tidak berarti bahwa serangkaian penelitian yang ditujukan guna mencari dan menentukan saat dibangunnya candi Tikus ini lantas manjadi tidak bisa dilaksanakan. Setidaknya, berdasarkan kajian arsitektural, diperoleh gambaran perbedaan dalam hal penggunaan bahan baku candi, yaitu bata merah.

Adanya perbedaan penggunaan bata merah (baik perbedaan kualitas maupun kuantitasnya), memberikan indikasi tentang tahapan pembangunan candi Tikus. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh para arkeolog, terbukti bahwa bata merah yang berukuran lebih besar berusia lebih tua dibandingkan dengan bata merah yang berukuran lebih kecil.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa selama masa berdiri dan berfungsinya, candi Tikus pernah mengalami dua tahap pembangunan. Pembangunan tahap pertama dilakukan dengan mempergunakan batu bata merah yang berukuran lebih besar sebagai bahan bakunya, sedangkan pembangunan tahap kedua dilakukan dengan mempergunakan bata merah yang berukuran lebih kecil.

Lain halnya dengan pendapat yang dikemukankan oleh N.J. Krom lewat buku "sakti"-nya yang berjudul Inleiding tot de Hindoe Javaansche Kunst II (Pengantar Kesenian Hindu Jawa). Dengan memperhatikan bahan dan gaya seni dari saluran air, pakar sejarah kesenian Jawa kuno berkebangsaan Belanda itu berasumsi bahwa ada dua tahap pembangunan candi Tikus.

Tahap pertama, saluran airnya terbuat dari bata merah dan memperlihatkan bentuknya yang kaku. Sedangkan tahap kedua saluran airnya terbuat dari batu andesit dan memperlihatkan bentuknya yang lebih dinamis serta dibuat pada masa keemasan Majapahit. Ini berarti pula bahwa menurut Krom, candi Tikus telah berdiri sebelum kerajaan Majapahit mencapai puncak keemasannya, yaitu pada masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350 - 1380).

Sementara itu, ketika dilakukan pemugaran pada tahun 1984/1985, berhasil disingkap sisi tenggara bangunan candi Tikus. Kaki bangunan yang terdapat di sisi tersebut, menunjukan perbedaan ukuran bata merah yang dipergunakan sebagai bahan bakunya. Hal ini semakin memperkuat dugaan mengenai dua tahap pembangunan candi tersebut. Kaki bangunan tahap pertama yang tersusun dari bata merah yang berukuran besar, tampak ditutup oleh kaki bangunan tahap kedua yang tersusun dari bata merah yang berukuran lebih kecil. Kapan secara pasti pembangunan tahap pertama dan kedua ini dilakukan, belum jelas benar.

Menurut catatan hasil penelitian yang telah dilakukan H. Maclaine Pont pada tahun 1926, setidaknya terdapat 18 buah waduk besar yang diduga kuat dibangun pada masa Majapahit (letaknya kini tersebar diseluruh kabupaten Mojokerto, Jawa Timur). Dari 18 buah waduk besar itu 4 buah diantaranya terletak di daerah Trowulan. Yaitu di Desa Baureno, Kumitir, Domas dan Temon. Waduk-waduk besar ini berfungsi sebagai tempat penampungan air pertama untuk selanjutnya dialirkan ke tempat-tempat lain.

Dari ke-empat waduk besar yang terletak di daerah Trowulan, waduk Baureno diduga merupakan sumber dari air yang masuk ke candi Tikus. Untuk selanjutnya air dari candi Tikus ini didistribusikan ka arah kota. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh alm. Didiek Samsu W.T. selama tahun 1986/1987, diketahui bahwa debit air rata-rata dari pancuran-pancuran air di candi Tikus adalah 17.604.915 cm/******* "Berdasarkan perhitungan ini, dapat diperkirakan bahwa candi Tikus pada masa itu memiliki peranan yang cukup penting dalam sistem jaringan air di daerah Trowulan," tulis arkeolog ini dalam skripsinya.

Lebih lanjut, alm. Didiek menyatakan bahwa air candi Tikus juga bisa dijadikan patokan musim kemarau dan musim penghujan. Pada musim kemarau, debit air rata-rata setiap pancuran pancuran lebih kurang 400 cm/******* Sedangkan jika lantai dasar candi Tikus mulai tergenang dan pancuran air memancarkan air lebih jauh, dapat diartikan bahwa musim hujan telah menjelang. Ini berarti pula bahwa pada musim hujan debit air di candi Tikus akan naik, sehingga bisa jadi patokan untuk membuka atau menutup pintu air di waduk atau bendungan.


Memiliki Kekuatan Magis

Tanpa usaha yang telah dilakukan oleh H. Maclaine Pont, barangkali nama Trowulan tidak akan mencuat ke permukaan dalam panggung sejarah Indonesia. Dialah yang pertama kali menyatakan bahwa Trowulan merupakan bekas Ibukota kerajaan Majapahit. Dengan bersumber pada kitap Nagarakertagama, Maclaine Pont berhasil merekonstruksi (bina ulang) ibukota kerajaan Majapahit. Dari peta kota hasil rekonstruksi Maclaine Pont pada tahun 1926 tersebut, tampak bahwa candi Tikus terletak di luar kota Majapahit.

Sejak zaman Prasejarah, air memang memiliki peranan penting dalam kehidupan spiritual manusia. Air dipercaya memiliki daya magis utnuk membersihkan, mensucikan dan menyuburkan. Tak heran, bila kemudian air yang keluar dari candi Tikus juga dipercaya memiliki kekuatan magis untuk memenuhi harapan rakyat agar hasil pertanian mereka berlipat ganda dan terhindar dari kesulitan-kesulitan yang merugikan.
sumber.http://ariequesa.blogspot.co.id/2012/05/sejarah-candi-tikus.html
Share:

candi prambanan

Peninggalan.com - Sejarah Candi Prambanan, dan Kisah Roro Joggrang - Candi prambanan merupakan salah satu candi yang terletak di Indonesia dan merupakan salah satu tempat tujuan wisata yang sangat menarik untuk di kunjungi. Candi prambanan sering kali dipanggil dengan nama candi Roro Jonggrang, mengapa di panggil candi Roro Jonggrang? nanti akan dijelaskan dibawah, untuk itu simak terus ya sobat peninggalan.com.  Candi Prambanan juga merupakan candi Hindu terbesar di Indonesia dan sekaligus menjadi candi terindah di Asia Tenggara. Candi Prambanan adalah peninggalan budaya dan salah satu aset Indonesia yang tidak dapat dinilai harganya. 

Sejarah Candi Prambanan -  Kerajaan Pengging Dan Boko 

Berawal pada suatu ketika di zaman kerajaan dahulu kala di bumi nusantara ini. Tersebutlah dua kerajaan Hindu yang cukup besar di Pulau Jawa. Yakni Kerajaan Pengging dengan rajanya yaitu Prabu Damar Moyo, Kerajaan yang satunya adalah Kerajaan Pengging dengan rajanya Prabu Boko.

Dikisahkan bahwa Kerajaan Pengging adalah sebuah kerajaan Hindu di Jawa yang sangat maju dan rakyatnya pun sangat makmur sentosa. Prabu Damar Moyo yang merupakan Raja Pengging, adalah seorang raja yang sangat baik hati dan bijaksana. Beliau memerintah rakyatnya dengan sangat adil. Hal Inilah yang membuat Kerajaan Pengging menjadi damai dan sangat makmur. Raja Damar Moyo memiliki seorang putra bernama Bandung Bondowoso yang sangat perkasa dan gagah berani.

Sementara di bagian lain lagi, Kerajaan Boko merupakan sebuah keraton yang masih berada di bawah wilayah kerajaan Pengging. Sesuai dengan namannya Keraton Boko ini diperintah oleh seorang raja bernama Prabu Boko. Di ceritakan bahwa Prabu Boko dikenal sebagai seorang raksasa bengis dan kejam berwajah menyeramkan, dan juga gemar memakan daging manusia. Konon Prabu Boko juga sangat dikenal sebagai raja yang lalim, kejam, dan sangat semena-mena dalam memerintah kerajaannya.

Akan tetapi dibalik wujudnya yang sangat bengis dan mengerikan, ternyata Prabu Boko memiliki seorang puteri yang sangat cantik jelita paras wajahnya. Roro Jonggrang, begitulah nama  Puteri Prabu Boko. Selain memiliki seorang puteri yang rupawan, Prabu Boko juga memiliki seorang patih kepercayaan. Patih tersebut bernama Patih Gupala yang juga berwujud seorang raksasa.

Sejarah Candi Prambanan Yogyakarta - Peperangan Dua Kerajaan

Dikisahkan pada suatu ketika Prabu Boko memiliki keinginan untuk memperluas keratonnya dan juga menguasai Kerajaan Pengging yang kala itu menjadi Kerajaan yang sangat kuat. Lalu berundinglah Prabu Boko bersama dengan patihnya yaitu Patih Gupala, serta menyusun berbagai strategi untuk memberontak dan menyerang Kerajaan Pengging. Ketika segala persiapan selesai dan semua kekuatan telah terhimpun, lalu berangkatlah Prabu boko, sang patih, diikuti seluruh pasukan Keraton Boko menyerang Kerajaan Pengging.

Kemudian tentu dapat di duga, sebuah pertempuran sengit pun terjadi. Pertempuran antar dua kerajaan ini berlangsung sangat sengit dan mengorbankan banyak prajurit dari kedua kerajaan tersebut. Tidak sedikit prajurit meregang nyawa, rakyat jelata juga tidak kalah menderita dan banyak juga yang menjadi korbannya. Tak hanya korban jiwa, ternyata perekonomian kerajaanpun menjadi lumpuh, banyak rakyat menderita kelaparan, terserang penyakit, dan lain sebagainya

Mengetahui keadaan yang semakin memburuk ini lalu Prabu Damar Moyo mengutus anaknya yaitu Pangeran Bandung Bondowoso untuk melawan Prabu Boko dan merenggut nyawanya. Mendapat perintah dari sang ayah, berangkatlah Bandung Bondowoso menuju medan peperangan. Pertarungan antara Bandung Bondowoso dan Prabu Boko pun pecah. Dalam pertarungan duel ini akhirnya Pangeran Bandung Bondowoso dapat mengalahkan Brabu Boko dan membunuhnya.

Mengetahui rajanya kalah dan terbunuh, sang Patih Dwarapala pun melarikan diri pulang menuju keraton Boko. Melihat hal itu Bandung Bondowoso tidak tinggal diam, Bandung Bondowoso merasa harus menumpaskan pemberontakan ini sampai tuntas ke akar-akarnya, Ia pun mengejar Patih Dwarapala menuju Keraton Boko.

Setiba Keraton Boko, sang Patih Dwarapala pun melaporkan apa yang terjadi kepada Puteri Roro Jonggrang. Mendapat kabar bahwa ayahnya telah dibunuh oleh Bandung Bondowoso, Roro Jonggran marah bukan kepalang. Dan mengetahui bahwa Bandung Bondowoso sedang dalam perjalanan menuju keratonnya, akhirnya Roro Jonggrang menyusun siasat untuk menghadapi Bandung Bondowoso.

Sejarah Berdirinya Candi Prambanan - Kekalahan Keraton Boko

Tatkala Bandung Bondowoso tiba di Keraton Boko, alangkah terkejutnya dia melihat ternyata Prabu Boko mempunyai seorang puteri yang sangat cantik rupawan. Melihat kecantikan Roro Jonggrang yang sangat menggoda, membuat Bandung Bondowoso jatuh hati kepadanya, serta berniat mempersuntingnya.

Saat mengetahui niat dan gelagat Bandung Bondowoso ini kemudian Puteri Roro Jonggrang pun melancarkan siasat yang telah di susun olehnya. Dia mengatakan kepada Bandung Bondowoso bahwa dia bersedia dijadikan isteri Bandung Bondowoso, akan tetapi ada 2 syarat yang harus dipenuhi. Karena terlanjur terpincut dengan Roro Jonggrang yang jelita, Bandung Bondowoso pun tidak kuasa bersedia memenuhi 2 persyaratan tersebut sebelum menikahi Roro Jonggrang.

Syarat-syarat yang harus di penuhi oleh Bandung Bondowoso tersebut adalah:
1.  Membuat sebuah sumur Jalatunda
2.  Mendirikian 1000 Candi dalam waktu satu malam

Asal usul Candi Prambanan - Pesona Kecantikan Roro Jonggrang

Sejarah Candi Prambanan dan Kisah Roro Jonggrang
Patung Roro Jonggrang

Pada akhirnya Sang Pangeran pun bersedia memenuhi kedua persyaratan tersebut. Di mulailah dia membangun sumur yang diminta oleh sang putri. Setelah sumur Jalatunda selesai di buat, Roro Jonggrang meminta Bandung Bondowoso untuk masuk ke dalam sumur tersebut. Ketika Bandung Bondowoso sudah masuk ke dalam sumur Jalatunda, Roro Jonggrang memerintahkan Patih Gupala untuk menimbun sumur dengan tanah dan mengubur hidup-hidup Bandung Bondowoso di dalamnya.

Ternyata usaha Roro Jonggrang dan sang patih tidak berjalan lancar, Bandung Bodowoso dengan mengerahkan ilmu kesaktiannya, telah berhasil menyelamatkan diri keluar dari dalam sumur yang telah di timbun tersebut. Mengetahui bahwa ia di jebak Bandung Bondowoso pun sangat marah kepada Roro Jonggrang dan mendatangi Roro Jonggrang. Akan tetapi berkat kecantikannya dan bujuk rayu Roro Jonggrang, membuat kemarahan Bandung Bondowoso mereda. Dan Bandung Bondowoso bersedia memenuhi persyaratan yang kedua, yakni membangun 1000 candi dalam waktu 1 malam.

Sejarah Candi Prambanan Jawa Tengah - Siasat Putri Roro Jonggrang

Permintaan untuk membangun 1000 candi dalam waktu semalam bukanlah perkara yang mudah bagi Bandung Bondowoso meski ia terkenal sangat sakti. Lantas dia pun mengerahkan segala kekuatannya dan meminta bantuan para Jin untuk membuat 1000 candi untuknya, dan para jin pun bersedia membantu.

Mengetahui bahwa Bandung Bondowoso meminta bantuan jin, Roro Jonggrang yang memang sebenarnya hanya ingin mengalahkan Bandung Bondowoso dan tidak rela bila Bandung Bondowoso bisa menyelesaikan 1000 candi dalam semalam, Roro Jonggrang memutar otaknya dan mengeluarkan siasat yang lainnya. Guna menggagalkan usaha Bandung Bondowoso membangun 1000 candi, ia meminta bantuan para gadis dari keratonnya.

Gadis- gadis itu diperintah untuk membakar jerami dan menumbuk lesung(alat tradisional jawa untuk menumbuk padi). Jerami pun dibakar agar lagit terlihat terang seperti pagi saat matahari mulai terbit. Kemudian lesung-lesung dipukul agar ayam berkokok pertanda pagi sudah tiba.

Saat mendengar suara lesung-lesung yang dipukuli, maka ayam-ayam jantan pun bangun dan mulai berkokok semua karena mengira bahwa pagi telah tiba. Sementara para jin yang sedang bekerja membangun candi melihat langit mulai terang dan ayam-ayam jantan mulai berkokok-kokok, juga mengira bahwa hari telah pagi. Mengetahui pagi telah tiba mereka pun menghentikan pekerjaan mereka membangun candi.

Sejarah Candi Prambanan - Candi Sewu Dan Mitosnya

Melihat para jin yang tiba-tiba berhenti bekerja karena di kira hari telah pagi, Bandung Bondowoso pun terkejut dan curiga dengan yang terjadi. Lalu Bondowoso memanggil Roro Jonggrang untuk menghitung seluruh candi yang telah jadi dibangun tersebut. Setelah dihitung jumlahnya, ternyata candi yang telah selesai dibuat hanya berjumlah 999 buah.

Menyadari tipu muslihat dari Roro Jonggrang, Bandung Bondowoso pun murka dan akhirnya mengutuk Puteri Roro Jonggrang menjadi candi yang ke 1000. Sungguh ajaib, seketika itu juga tubuh Puteri Roro Jonggrang berubah menjadi patung batu. Bukan hanya itu saja Bandung Bondowoso juga mengutuk para gadis yang telah membantu muslihat Roro Jonggrang menjadi perawan tua dan seumur hidup mereka tidak pernah menikah.

Semenjak saat itulah Candi Prambanan mulai dikenal masyarakat, dan 100 candi yang berada di sekitarnya. Selain itu Candi Prambanan juga dikenal dengan Candi Sewu. Kata Sewu jika dalam bahasa Indonesia berarti seribu. Mitos juga mengatakan bahwa, barang siapa ada sepasang kekasih yang mengunjungi Candi Prambanan Yogyakarta maka diyakini pasangan kekasih itu tidak akan langgeng hubungannya, konon mereka akan berpisah. Inilah Sejarah Candi Prambanan dan Kisah Roro Jonggrang, sobat pembaca boleh mempercayai atau tidak, kami kembalikan lagi kepada Anda.
sumber.http://www.peninggalan.com/2014/10/sejarah-candi-prambanan-dan-kisah-roro.html
Share:

Minggu, 06 November 2016

Candi Tikus

Candi ini terletak di kompleks Trowulan, sekitar 13 km di sebelah tenggara kota Mojokerto. Dari jalan raya Mojokerto-Jombang, di perempatan Trowulan, membelok ke timur, melewati Kolam Segaran dan Candi Bajangratu yang terletak di sebelah kiri jalan. Candi Tikus juga terletak di sisi kiri jalan, sekitar 600 m dari Candi Bajangratu.
Candi Tikus yang semula telah terkubur dalam tanah ditemukan kembali pada tahun 1914. Penggalian situs dilakukan berdasarkan laporan bupati Mojokerto, R.A.A. Kromojoyo Adinegoro, tentang ditemukannya miniatur candi di sebuah pekuburan rakyat. Pemugaran secara menyeluruh dilakukan pada tahun 1984 sampai dengan 1985. Nama ‘Tikus’ hanya merupakan sebutan yang digunakan masyarakat setempat. Konon, pada saat ditemukan, tempat candi tersebut berada merupakan sarang tikus.
Belum didapatkan sumber informasi tertulis yang menerangkan secara jelas tentang kapan, untuk apa, dan oleh siapa Candi Tikus dibangun. Akan tetapi dengan adanya miniatur menara diperkirakan candi ini dibangun antara abad ke-13 sampai ke-14 M, karena miniatur menara merupakan ciri arsitektur pada masa itu.

Bentuk Candi Tikus yang mirip sebuah petirtaan mengundang perdebatan di kalangan pakar sejarah dan arkeologi mengenai fungsinya. Sebagian pakar berpendapat bahwa candi ini merupakan petirtaan, tempat mandi keluarga raja, namun sebagian pakar ada yang berpendapat bahwa bangunan tersebut merupakan tempat penampungan dan penyaluran air untuk keperluan penduduk Trowulan. Namun, menaranya yang berbentuk meru menimbulkan dugaan bahwa bangunan candi ini juga berfungsi sebagai tempat pemujaan.
Bangunan Candi Tikus menyerupai sebuah petirtaan atau pemandian, yaitu sebuah kolam dengan beberapa bangunan di dalamnya. Hampir seluruh bangunan berbentuk persegi empat dengan ukuran 29,5 m x 28,25 m ini terbuat dari batu bata merah. Yang menarik, adalah letaknya yang lebih rendah sekitar 3,5 m dari permukaan tanah sekitarnya. Di permukaan paling atas terdapat selasar selebar sekitar 75 cm yang mengelilingi bangunan. Di sisi dalam, turun sekitar 1 m, terdapat selasar yang lebih lebar mengelilingi tepi kolam. Pintu masuk ke candi terdapat di sisi utara, berupa tangga selebar 3,5 m menuju ke dasar kolam.
Di kiri dan kanan kaki tangga terdapat kolam berbentuk persegi empat yang berukuran 3,5 m x 2 m dengan kedalaman 1,5 m. Pada dinding luar masing-masing kolam berjajar tiga buah pancuran berbentuk padma (teratai) yang terbuat dari batu andesit.
Tepat menghadap ke anak tangga, agak masuk ke sisi selatan, terdapat sebuah bangunan persegi empat dengan ukuran 7,65 m x 7,65 m. Di atas bangunan ini terdapat sebuah ‘menara’ setinggi sekitar 2 m dengan atap berbentuk meru dengan puncak datar. Menara yang terletak di tengah bangunan ini dikelilingi oleh 8 menara sejenis yang berukuran lebih kecil. Di sekeliling dinding kaki bangunan berjajar 17 pancuran (jaladwara) berbentuk bunga teratai dan makara.
Hal lain yang menarik ialah adanya dua jenis batu bata dengan ukuran yang berbeda yang digunakan dalam pembangunan candi ini. Kaki candi terdiri atas susunan bata merah berukuran besar yang ditutup dengan susunan bata merah yang berukuran lebih kecil. Selain kaki bangunan, pancuran air yang terdapat di candi inipun ada dua jenis, yang terbuat dari bata dan yang terbuat dari batu andesit.
Perbedaan bahan bangunan yang digunakan tersebut menimbulkan dugaan bahwa Candi Tikus dibangun melalui tahap. Dalam pembangunan kaki candi tahap pertama digunakan batu bata merah berukuran besar, sedangkan dalam tahap kedua digunakan bata merah berukuran lebih kecil. Dengan kata lain, bata merah yang berukuran lebih besar usianya lebih tua dibandingkan dengan usia yang lebih kecil. Pancuran air yang terbuat dari bata merah diperkirakan dibuat dalam tahap pertama, karena bentuknya yang masih kaku. Pancuran dari batu andesit yang lebih halus pahatannya diperkirakan dibuat dalam tahap kedua. Walaupun demikian, tidak diketahui secara pasti kapan kedua tahap pembangunan tersebut dilaksanakan.
Share:

Sample Text

Copyright © Sejarah Candi | Powered by Blogger Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com