Rabu, 22 Maret 2017

nusantara

UNGAI selebar dua meter dengan menarik perhatian siapapun yang berjalan di tepinya, di sebuah jalan tanah setapak yang hanya bisa dilalui dua orang.

Dasar sungai dari bebatuan dan ikan-ikan kecil tampak lalu lalang menandakan jika air yang mengalir cukup jernih. Sebuah plang bertuliskan Candi Sumber Awan  menunjuk ke arah barat. Beberapa pemuda tampak asik berjalan di tepi sungai yang di sebelah kiri tampak hamparan tanaman padi yang baru ditanam.

Beberapa warga sekitar juga sedang asik berendam di sungai, tak ketinggalan anak-anak kecil juga tengah asik mandi di sungai yang airnya berasal dari sumber mata air di sebelah lokasi Candi Sumber Awan. Sepanjang tahun tak pernah berhenti aliran sumber air yang berasal dari kaki Gunung Arjuna ini.

Di depan sumber, juga ada sebuah bangunan mirip kolam. Beberapa pipa dari besi juga terpasang dari beberapa titik yang disalurkan ke beberapa instansi pemerintah yang berkantor di Kecamatan Singosari.

Setelah berjalan sekira 500 meter, sedikit berbelok ke kanan di tepi hutan pinus tampak sebuah bangunan yang terbuat dari batu andesit, khas bangunan candi. Namun, tidak seperti candi pada umumnya, bangunan Candi Sumber Awan berbentuk stupa dan merupakan satu-satunya candi yang berbentuk stupa di Jawa Timur.

Tak heran jika di depan pagar lokasi candi ada dua plakat nama Candi Sumber Awan dan Stupa Sumber Awan. Lokasi candi ini berada di pinggir hutan pinus yang berada di lereng Gunung Arjuna. Berada di antara kolam yang berasal dari sumber di samping candi. Stupa ini tingginya sekira 2,23 meter dan terletak di Desa Toyomarto, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur.

Menurut penuturan juru pelihara candi, Suryadi (52), keberadaan Candi Sumberawan tidak lepas dari kerajaan Majapahit, khususnya di era kepemimpinan Hayam Wuruk. Suryadi menjelaskan, berdasarkan kitab Negarakertagama, Candi Sumberawan diperkirakan dibangun pada abad 14 sampai 15 Masehi, atau pada masa periode Majapahit.

”Iini bisa dilihat dari bentuk batur atau stupa yang ada. Bahkan dari latar belakangnya, bisa dipastikan kalau candi ini dibangun pada kejayaan agama Budha di Indonesia,” kata Suryadi.

Dikisahkan, lokasi Candi Sumberawan pernah dikunjungi Raja Hayam Wuruk di tahun 1359 Masehi ketika melakukan perjalanan keliling wilayahnya. Saat itu, kawasan tersebut masih hutan belantara. Hayam Wuruk menemukan beberapa sumber mata air yang memiliki aura tinggi. Karena itu, ia membangun Candi Sumber Awan dan waktu itu dikenal sebagai Kasurangganan atau padepokan. Istilah Kasurangganan sendiri cukup terkenal di Kitab Negarakertagama.

Candi ini ditemukan pertama kali tahun 1904. Saat ditemukan, stupa candi sudah tidak ada. Selanjutnya, pada tahun 1935, dilakukan penelitian oleh Dinas Purbakala Hindia Belanda yang kemudian dilanjutkan pemugaran pada bagian kaki candi pada tahun 1937. Pemugaran tidak bisa dilakukan dengan sempurna, karena itulah ada beberapa bagian yang direkontruksi secara darurat.

Candi Sumberawan merupakan satu-satunya candi yang berbentuk stupa di Jawa Timur. Pada batur candi yang tinggi terdapat selasar dan kaki candi memiliki penampit pada keempat sisinya. Di atas kaki candi berdiri stupa yang terdiri atas lapik bujur sangkar dan lapik berbentuk segi delapan dengan bantalan Padma. Bagian atas berbentuk genta (stupa) yang puncaknya telah hilang.

Saat renovasi, karena kesulitan dalam perencanaan kembali bagian atas candi, maka bagian tersebut tidak dipasang kembali. Diperkirakan pada puncaknya tidak dipasang payung atau chattra, karena sisa-sisanya tidak ditemukan sama sekali.

Di sekitar lokasi candi juga ada bangunan yang digunakan untuk para pelaku spiritual yang ingin bermalam. Ada dua bilik kamar yang di depannya memancar air yang tak pernah berhenti. Di sebelah barat candi juga ada lokasi sumber mata air yang digunakan sebagai tempat bersuci. Lokasi-lokasi ini juga tak pernah sepid ari beberapa sesajen maupun aroma dupa serta kembang sekar.
Share:

nusantara

Candi Jawi adalah candi yang dibangun sekitar abad ke-13 dan merupakan peninggalan bersejarah Hindu - Buddha Kerajaan Singhasari di kecamatan Prigen, Pasuruan, Jawa Timur, Indonesia. Candi Jawi ini terletak di pertengahan jalan raya antara Kecamatan Pandaan - Kecamatan Prigen dan Pringebukan. Candi Jawi banyak dikira sebagai tempat pemujaan atau tempat peribadatan Buddha, namun sebenarnya merupakan tempat penyimpanan abu dari raja terakhir Singhasari, Kertanegara. Keunikan Candi Jawi adalah adanya relief di dindingnya. Sayangnya, relief ini belum bisa dibaca. Bisa jadi karena pahatannya yang terlalu tipis, atau karena kurangnya informasi pendukung, seperti dari prasasti atau naskah. Negarakertagama yang secara jelas menceritakan Candi Jawi ini tidak menyinggung sama sekali soal relief tersebut. Candi Jawi dipugar untuk kedua kalinya tahun 1938-1941 dalam masa pemerintahan Hindia Belanda karena kondisinya sudah runtuh. Akan tetapi, renovasinya tidak sampai tuntas karena sebagian batunya hilang. Kemudian diperbaiki kembali tahun 1975-1980, dan diresmikan tahun 1982. Bentuk bangunan Candi Jawi memang utuh, tetapi isinya berkurang. Arca Durga kini disimpan di Museum Empu Tantular, Surabaya. Lainnya disimpan di Museum Trowulan untuk pengamanan. Sedangkan yang lainnya lagi, seperti arca Brahmana, tidak ditemukan. Mungkin saja sudah berkeping-keping.
Share:

nusantara

andi Kidal adalah salah satu candi warisan dari kerajaan Singasari. Candi ini dibangun sebagai bentuk penghormatan atas jasa besar Anusapati, Raja kedua dari Singhasari, yang memerintah selama 20 tahun (1227 - 1248). Kematian Anusapati dibunuh oleh Panji Tohjaya sebagai bagian dari perebutan kekuasaan Singhasari, juga diyakini sebagai bagian dari kutukan Mpu Gandring.
Candi Kidal secara arsitektur, kental dengan budaya Jawa Timuran, telah mengalami pemugaran pada tahun 1990. Candi kidal juga memuat cerita Garudeya, cerita mitologi Hindu, yang berisi pesan moral pembebasan dari perbudakan.

Anusapati- Garuda Sang Yang Berbakti    

          Penggalan pupuh dalam kitab Negarakretagama, sebuah kakawin kaya raya informasi tentang kerajaan Majapahit dan Singosari, menceritakan hal yang berkaitan dengan raja Singosari ke-2, Anusapati, beserta tempat pendharmaannya di candi Kidal.
  Bathara Anusapati menjadi raja
  Selama pemerintahannya tanah Jawa kokoh sentosa
  Tahun caka Persian Gunung Sambu (1170 C - 1248 M)beliau
  berpulang ke Siwabudaloka
  Cahaya beliau diujudkan arca Siwa gemilang di candi Kidal
          (Nagarakretagama : pupuh 41 / bait 1, Slamet Mulyono)
Lokasi
          Terletak di desa Rejokidal, kecamatan Tumpang, sekitar 20 km sebelah timur kota Malang - Jawa Timur, candi Kidal dibangun pada 1248 M, bertepatan dengan berakhirnya rangkaian upacara pemakaman yang disebut Cradha (tahun ke-12) untuk menghormat raja Anusapati yang telah meninggal. Setelah selesai pemugaran kembali pada dekade 1990-an, candi ini sekarang berdiri dengan tegak dan kokoh serta menampakkan keindahannya. Jalan menuju ke Candi Kidal sudah bagus setelah beberapa tahun rusak berat. Di sekitar candi banyak terdapat pohon-pohon besar dan rindang, taman candi juga tertata dengan baik, ditambah lingkungan yang bernuansa pedesaan menambah suasana asri bila berkunjung kesana.

          Dari daftar buku pengunjung yang ada nampak bahwa Candi Kidal tidak sepopuler “teman”-nya candi Singosari, Jago, atau Jawi. Ini diduga karena Candi Kidal terletak jauh di pedesaan, tidak banyak diulas oleh pakar sejarah, dan jarang ditulis pada buku-buku panduan pariwisata.

 

Keistimewaan Candi Kidal

          Namun demikian candi Kidal sesungguhnya memiliki beberapa kelebihan menarik dibanding dengan candi-candi lainnya tersebut. Candi Kidal terbuat dari batu andesit dan berdimensi geometris vertikal. Kaki candi nampak agak tinggi dengan tangga masuk keatas kecil-kecil seolah-olah bukan tangga masuk sesungguhnya. Badan candi lebih kecil dibandingkan luas kaki serta atap candi sehingga memberi kesan ramping. Pada kaki dan tubuh candi terdapat hiasan medallion serta sabuk melingkar menghiasi badan candi. Atap candi terdiri atas 3 tingkat yang semakin keatas semakin kecil dengan bagian paling atas mempunyai permukaan cukup luas tanpa hiasan atap seperti ratna (ciri khas candi Hindu) atau stupa (ciri khas candi Budha). Masing-masing tingkat disisakan ruang agak luas dan diberi hiasan. Konon tiap pojok tingkatan atap tersebut dulu disungging dengan berlian kecil.
          Hal menonjol lainnya adalah kepala kala yang dipahatkan di atas pintu masuk dan bilik-bilik candi. Kala, salah satu aspek Dewa Siwa dan umumnya dikenal sebagai penjaga bangunan suci. Hiasan kepala kala Candi Kidal nampak menyeramkan dengan matanya melotot, mulutnya terbuka dan nampak dua taringnya yang besar dan bengkok memberi kesan dominan. Adanya taring tersebut juga merupakan ciri khas candi corak Jawa Timuran. Di sudut kiri dan kanannya terdapat jari tangan dengan mudra (sikap) mengancam. Maka sempurnalah tugasnya sebagai penjaga bangunan suci candi.
   
Pemugaran 
           Di sekeliling candi terdapat sisa-sisa pondasi dari sebuah tembok keliling yang berhasil digali kembali sebagai hasil pemugaran tahun 1990-an. Terdapat tangga masuk menuju kompleks candi disebelah barat melalui tembok tersebut namun sulit dipastikan apakah memang demikian aslinya. Jika dilihat dari perspektif tanah sekeliling dengan dataran kompleks candi, nampak candi kompleks Kidal agak menjorok kedalam sekitar 1 meter dari permukaan sekarang ini. Apakah dataran candi merupakan permukaan tanah sesungguhnya akibat dari bencana alam seperti banjir atau gunung meletus tidak dapat diketahui dengan pasti.
           Dirunut dari usianya, Candi Kidal merupakan candi tertua dari peninggalan candi-candi periode Jawa Timur pasca Jawa Tengah (abad ke-5 – 10 M). Hal ini karena periode Mpu Sindok (abad X M), Airlangga (abad XI M) dan Kediri (abad XII M) sebelumnya tidak meninggalkan sebuah candi, kecuali Candi Belahan (Gempol) dan Jolotundo (Trawas) yang sesungguhnya bukan merupakan candi melainkan petirtaan. Sesungguhnya ada candi yang lebih tua yakni Candi Kagenengan yang menurut versi kitab Nagarakretagama tempat di-dharma-kannya, Ken Arok, ayah tiri Anusapati. Namun sayang candi ini sampai sekarang belum pernah ditemukan.
Share:

nusantara

merupakan candi yang berdiri sejak abad XIII pada masa kerajaan Singhasari (Singosari). Nama Candi Jago ini berasal dari kata Jajaghu. Letak Candi Jago adalah pada Desa Tumpang, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, yang bisa dtempuh sejauh 22 km ke arah timur dari kota Malang. Penduduk setempat sering menyebut Candi Jago sebagai Cungkup, ada juga yang menyebutnya sebagai Candi Tumpang.

Kali ini nnoart.com akan mengulas mengenai Candi Jago, yang merupakan salah satu peninggalan sejarah di Malang yang juga saat ini berfungsi juga sebagai salah satu objek wisata sejarah di Malang. Informasi yang diberikan dalam tulisan ini sebagian besar disadur dari Wikipedia serta beberapa lainnya dengan mengamati langsung di lapangan serta bertanya pada pengelola setempat.


Letak Candi Jago


Sebelum mempelajari banyak hal mengenai Candi Jago, ada baiknya untuk mengetahui terlebih dahulu lokasi tepat dari candi ini. Mungkin ada diantara pembaca yang lebih tertarik untuk menggali informasi lebih detailnya secara langsung di lapangan atau hanya sekedar untuk jalan-jalan saja.

Bagi pembaca yang ingin mengunjungi Candi Jago, dapat langsung melihat Google Maps di atas, yang menunjukan langsung lokasi dari candi ini di dusun Jago, Desa Tumpang, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Koordinatnya adalah pada 8°0′20,81″LU 112°45′50,82″BT atau bisa langsung klik pada "view larger map" pada Google Map di atas untuk menuju halaman peta yang lebih besar.

Cara Menuju Candi Jago

Jika dari kota Malang, berkendaralah sejauh kurang lebih 22 km ke arah timur, melalui Madyopuro – Cemorokandang – kecamatan Pakis – Tumpang atau bisa dengan mengikuti jalan Laksda Adisucipto (jalan menuju bandara), terus melewati Pakis hingga masuk Tumpang. Ikuti terus jalan utama hingga tiba di Pasar Tumpang yang berada di pusat kecamatan Tumpang. Candi Jago terletak kurang lebih 500 meter dari Pasar Tumpang. Oh iya, bagi yang ingin naik angkutan umum bisa ke Terminal Arjosari dan naik angkutan umum Malang – Tumpang hingga tiba di Pasar Tumpang. Anda bisa naik ojek dari sini atau berjalan kaki kurang lebih 10 menit.

Candi Jago berada diantara permukiman warga, tepat berada di depan SD Negeri Tumpang 02 di Jalan Wisnuwardhana. Pengelola candi menggunakan pagar kawat berduri untuk membatasi antara candi dengan permukiman warga. 

Sejarah Candi Jago

Foto Candi Jago Malang yang bersejarah oleh nnoart
Nama sebenarnya dari candi ini adalah Jajaghu (menurut kitab Negarakertagama dan Pararaton). Jajaghu merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk menyebut suatu tempat suci. Jajaghu sendiri artinya ‘keagungan’, yang seiring berjalannya waktu sekarang hanya disebut sebagai candi Jago, walaupun terkadang ada yang menyebutnya sebagai Candi Tumpang karena lokasinya atau warga setempat lebih sering menyebutnya Cungkup.

Candi Jago didirikan pada abad XIII tepatnya pada masa kejayaan Kerajaan Singhasari. Pada awal mula didirikan oleh Raja Kertanegara, Candi Jago dijadikan sebagai makam raja kerajaan Singhasari yang keempat yaitu Wishnuwardhana yang juga merupakan ayah dari Raja Kertanegara. Raja Wishnuwardhana sendri wafat pada tahun 1268 M. Candi tambahan didirikan dan ditambahkan Arca Manjusri oleh Adityawarman (sekarang tersimpan di Museum Nasional bernomor inventaris D. 214).

Raja Kerajaan Singasari waktu itu, Wisnuwardhana, merupakan penganut agawa Syiwa Buddha yang merupakan aliran keagamaan perpaduan Hindhu Buddha (informasi dalam Pupuh 41 Gatra ke-4 Negarakertagama). Selama masa pemerintahan kerajaan Singasari, kerajaan yang terletak kurang lebih 20 kilometer dari Candi Jago, aliran Syiwa Buddha ini terus berkembang.

Foto arca dan tatakannya di Candi Jago Malang
Pembangunan Candi Jago dalam kitab Negarakertagama serta Pararaton berlangsung selama 12 tahun yaitu pada 1268 M – 1280 M. Walaupun Candi Jago lebih identik dengan kerajaan Singosari, namun disebut juga dalam Negarakertagama serta Pararaton bahwa Raja dari Kerajaan Majapahit, Hayam Wuruk, sering mengunjungi candi ini sepanjang tahun 1359 M. Hubungan antara Candi Jago dengan Kerajaan Singhasari bisa juga dilihat dari pahatan teratai (padma) yang menghiasi tatakan arca-arcanya, dimana terlihat menjulur keatas dari bonggolnya. Motif teratai ini merupakan motif teratai populer pada masa Kerajaan Singasari. Dalam sejarah Candi, perlu dicermati juga kebiasaan raja-raja zaman dulu yang biasanya memugar candi-candi yang dibangun oleh raja-raja sebelumnya. Ada dugaan bahwa Raja Adityawarman dari Melayu, yang masih memiliki hubungan darah dengan Hayam Wuruk, pernah memugar Candi Jago pada tahun 1343 M.

Struktur Candi Jago

Foto salah satu bagian dari Candi Jago Malang
Candi Jago yang terlihat saat ini merupakan sebuah reruntuhan yang belum dipugar, dimensi candi  berbentuk segiempat dengan luas 23,71 meter x 14 meter. Atap candi hilang (konon katanya karena disambar petir) sehingga tidak dapat dipastikan ketinggian candi yang sebenarnya, namun diperkirakan tingginya mencapai 15 meter walaupun yang terlihat sekarang ketinggiannya hanya mencapai 9,97 meter yang disusun seperti teras punden berundak. Candi Jago terbuat dari batu andesit, ornamen-ornamen yang ada pada kaki serta badan Candi Jago mirip dengan yang ada pada Candi Penataran di Blitar, Jawa Timur (Baca tentang Candi Penataran KLIK DISINI).

Candi Jago yang terlihat saat ini sudah tidak utuh karena yang tersisa hanya sebagian kecil badan candi serta bagian kaki candi. Terdapat 3 buah teras yang menjorok yang menyangga badan candi di bagian ketiga dari teras-teras itu. Sebagian badan candi serta atap candi telah terbuka. Itulah sebabnya bentuk pasti dari Candi Jago ini belum diketahui, walaupun telah ada dugaan bahwa atap Candi Jago ini menyerupai Pagoda atau Meru.

Candi Jago ini menghadap arah barat yang didirkan diatas batur setinggi kurang lebih 1 meter. Semakin keatas semakin mengecil pula teras kaki candi. Pada teras lantai 1 dan lantai 2 terdapat selasar yang dapat dilalui oleh pengunjung agar dapat mengelilingi candi di masing-masing tingkat. Ruang utama (Garba Ghra) terletak agak ke belakang.

Foto salah satu bagian pada struktur Candi Jago Malang.
Pada zaman megalitikum, bentuk bangunan yang bersusun, bergeser ke belakang serta berselasar merupakan bentuk yang cukup umum. Bangunan seperti ini disebut bangunan punden berundak. Ini merupakan bentuk yang sering digunakan sebagai tempat pemujaan bagi arwah leluhur. Itulah sebabnya dari bentuk Candi Jago ini diperkirakan tujuan pembangunannya yaitu sebagai tempat pemujaan arwah leluhur, walaupun hingga saat ini masih terus dilakukan penelitian lebih lanjut agar dapat membuktikan kebenarannya.

Pada sisi depan (barat) terdapat dua tangga sempit sisi kanan maupun kiri yang dapat digunakan untuk naik ke lantai atas. Lantai teratas merupakan lantai yang paling suci serta paling penting perannya. Terdapat sebuah bangunan yang letaknya agak bergeser ke belakang pada lantai teratas ini. Pada bagian atap candi sudah tidak ada bekasnya lagi, diperkirakan dulunya terbuat dari ijuk atau kayu.

Sekitar 6 meter dari kaki candi tepatnya di pelataran depan, terdapat suatu tatakan yang menyerupai arca raksasa yang dipahat dari batu besar. Batu ini berdiameter kurang lebih 1 meter. Pahatan bunga padma (teratai) yang menjulur dari bonggolnya terpahat di puncak batu ini.

Foto Arca Amoghapasa Candi Jago Malang yang kondisinya sudah sangat memprihatinkan.
Arca Amoghapasa yang berlengan delapan dengan latar belakang berupa singgasana dengan bentuk kepala raksasa yang membelakangi satu sama lain berada di sisi barat halaman candi. 2 dari 4 lengan kanan serta 2 dari 4 lengan kiri dari arca ini sudah patah ditambah lagi kepala arca yang hilang, sehingga kondisinya terlihat sangat memprihatinkan. Arca kepala raksasa setinggi kurang lebih 1 meter terdapat di selatan arca ini (foto kepala arca ini ada di pembahasan mengenai struktur candi Jago) pada jarak kurang lebih 3 meter. Benda-benda yang ada di pelataran candi ini tidak diketahui secara pasti apakah posisi aslinya memang disitu atau bukan, sampai saat ini para ahli hanya menduga-duga tentang beberapa hal tentang Candi ini.

Relief Candi Jago

Foto salah satu contoh relief di Candi Jago Malang.
Mulai dari kaki hingga dinding ruang teratas dipenuhi dengan panel-panel relief yang dipahat dengan rapi. Dapat dikatakan tidak terdapat bidang yang kosong dari relief-relief tersebut, berbagai macam hiasan dalam jalinan cerita yang sebagian besarnya mengandung unsur pelepasan kepergian hampir memenuhi seluruh tembok candi. Inilah yang menguatkan dugaan bahwa ada kaitan erat antara pembangunan Candi Jago dengan wafatnya Raja Wisnuwardhana (Sri Jaya Wisnuwardhana). Hal ini sesuai juga dengan agama beliau, Syiwa Buddha, dimana relief-relief yang terpahat di candi juga mengandung ajaran Hindu Buddha.

Dinding bagian luar kaki Candi Jago dipahatkan relief-relief cerita seperti Anglingdharma, Kunjarakharna, Arjuna Wiwaha, Parthayana, Kresnayana serta cerita fabel. Urutan mengikuti cerita-cerita pada relief tersebut adalah mengikuti aturan pradaksiana yaitu dengan berjalan memutari candi searah jarum jam.

Relief cerita Tantri Kamandaka serta cerita Kunjarakharna yang mencerminkan ajaran Buddha terpahat di teras paling bawah. Cerita Kunjarakharna bersambung pada dinding teras kedua Dalam kepercayaan Buddha cerita Kunjarakharna bersifat dedaktif, tentang raksasa Kunjarakarna yang ingin menjelma menjadi seorang manusia. Raksasa Kunjarakarna ini menghadap Sang Wairocana (dewa tertinggi) untuk menyampaikan maksudnya. Setelah mendapatkan nasihat serta selalu patuh pada ajaran Buddha akhirnya keinginan dari raksasa ini dapat terwujud.

Di dinding teras kedua juga terdapat kisah Parthayajna serta Arjuna Wiwaha yang merupakan petikan kisah Mahabarata yang menggambarkan ajaran agama Hindhu. Cerita Arjuna Wiwaha bersambung ke teras ketiga. Cerita Arjunawiwaha menceritakan riwayat perkawinan antara Arjuna dan Dewi Suprabha. Perkawinan tersebut merupakan sebuah hadiah dari Bhatara Guru setelah raksasa Niwatakawaca dikalahkan oleh Arjuna. Cerita Hindu lainnya yang terpahat pada dinding tubuh candi adalah peperangan Krisna dan Kalayawana.

Relief Candi Jago terlihat pada foto ini terukir pada badan candi.
Pada bagian barat laut atau sudut kiri Candi jago ini tergambarkan awal cerita binatang seperti halnya dalam cerita Tantri yang terdiri dari beberapa panel. Di dinding depan Candi Jago terdapat fabel berupa kura-kura yang menceritakan dua ekor kura-kura yang menggigit setangkai kayu kemudian diterbangkan oleh seekor angsa dengan mengangkat tangkai kayu tersebut. Saat tengah menempuh perjalanan ada gerombolan serigala yang menertawakan kura-kura tersebut.  Mendengar hal tersebut, kura-kura membalas dengan kata-kata (berbicara) yang membuat gigitannya pada tangkai kayu tersebut terlepas sehingga akhirnya kura-kura tersebut terjatuh. Gerombolan serigala dibawah siap menyambutnya dan memakan kura-kura tersebut. Makna dari fabel ini adalah sebuah nasihat agar jangan mudah mundur dalam suatu usaha hanya karena diejek orang.

Pada badan Candi Jago, tidak terlalu banyak terdapat hiasan seperti yang banyak terdapat pada kaki candi. Pada badan Candi Jago, yang terlihat hanyalah relief adegan Kalayawana yang juga masih berkaitan dengan cerita Kresnayana. Relief ini menceritakan peperangan antara Kresna dan raja Kalayawana.

Fasilitas dalam Candi Jago

Fasilitas di Candi Jago Malang berupa parkiran dan toilet.
Tidak banyak fasilitas yang tersedia di Candi Jago ini. Seperti layaknya candi-candi lainnya di area Malang, fasilitas yang tersedia hanya berupa ruangan kecil untuk pengelola tempat dimana pengunjung bisa menulis namanya di daftar pengunjung serta memberikan sumbangan secukupnya bagi pemeliharaan candi. Halaman parkir di dalam kompleks candi juga tidak terlalu luas, berkapasitas kurang lebih belasan sepeda motor. Sebuah papan informasi tempat dimana dipajang informasi lengkap serta foto-foto Candi Jago. Sebuah toilet juga terdapat di sisi sebelah timur (belakang) candi. Beberapa tempat duduk dari beton berada di bawah pohon yang rindang, tempat pengunjung dapat duduk santai menghabiskan waktu sambil melihat kemegahan candi.  Soal warung makan dan sebagainya, memang tidak ada di dalam kompleks candi, akan tetapi pengunjung bisa mencarinya di luar kompleks. Beberapa warung makan nampak berada di tepian Jalan Wisnuwardhana tempat Candi Jago ini berdiri.

Jam Operasional Candi Jago

Candi Jago dibuka untuk umum mulai pukul 07:00 hingga pukul 16:00 WIB. Jam operasional ini bersifat fleksibel karena terkadang hingga pukul 17:00 masih dibuka, tergantung dari banyaknya pengunjung saat sore hari.

Tarif yang Berlaku

Untuk masuk ke dalam kompleks Candi Jago tidak perlu membayar karcis masuk, namun apabila mengisi buku tamu, pengunjung bisa membayar berapapun secara sukarela kepada pengelola. Oh iya, pengelola juga menyediakan buku yang berisi segala informasi tentang Candi Jago lengkap juga dengan keterangan relief-reliefnya dengan harga Rp. 15.000/buku. Untuk parkir, sama sekali tidak dikenakan tarif.

Cerita Jalan-Jalan ke Candi Jago

Foto Ninno Emanuel di Candi Jago Malang
Berawal dari rasa bosan karena sudah lama tidak jalan-jalan, siang hari itu (16 April 2016) saya memutuskan untuk jalan-jalan sebentar mencari spot foto yang keren di sekitar kota Malang. Karena rasanya tidak asyik kalau jalan-jalan sendiri saja, saya singgah sebentar ke rumah kontrakan teman-teman seperjuangan selama di Malang di Poharin. Ternyata ada yang berminat untuk jalan-jalan bersama saya waktu itu walaupun cuma seorang, Dimas namanya (@febryblager).

Karena masih jam 2 siang, kami masih duduk-duduk sebentar bersama penghuni kontrakan, sekalian juga membahas mau kemana. Karena ke arah selatan Malang kemungkinan besar akan terjebak macet (waktu itu ada pertandingan Arema di stadion Kanjuruhan Kepanjen), ke arah barat (kota Batu) juga sudah terlalu sering, kami memutuskan untuk ke arah timur. Karena maunya yang dekat-dekat saja akhirnya dipilih Candi Jago sebagai tempat untuk hunting foto pada hari itu. Candi lainnya di wilayah Malang yang pernah saya kunjungi diantaranya Candi Singosari dan Candi Badut, bisa dibaca dan lihat foto-fotonya dengan klik masing-masing tautan tersebut.

Perjalanan lumayan cepat dan lancar, karena sama sekali tidak macet sepanjang jalan. Bahkan Jembatan Ranu Grati (Sawojajar) kota Malang yang langganan macet sore hari sedang lengang saat itu. Tidak butuh lama, kurang lebih 20 menit kami tiba di Pasar Tumpang. Di pertigaan pasar Tumpang ini, kami belok kiri dan berhenti untuk bertanya pada warga sekitar gang menuju candi Jago. Oleh warga tersebut kami diarahkan untuk belok kanan tepat di sebelah Masjid besar atau di depan SD Negeri Tumpang 01, yang merupakan Jalan Wisnuwardhana, setelah itu terus hingga ketemu Candi Jago dan SD Negeri Tumpang 02 di sebelahnya.

Saat melewati bagian depan Candi, sempat khawatir karena terlihat gerbang depannya ditutup dan dikunci. Setelah melihat lebih jauh kedalam, pintu masuknya ternyata berada di sisi sebelah kanan (utara) candi. Akhirnya saya dan Dimas kembali ke motor dan berkendara ke gerbang samping. Oleh petugas diarahkan untuk parkir di tempat parkir yang ada tepat di sebelah ruang pengelola/petugas jaga.

Foto Dimas Febry di Candi Jago Malang.Waktu itu sekitar pukul 15:30, jadi masih terlalu silau untuk foto, namun bagaimanapun juga sudah terlanjur sampai disini jadi tidak pakai buang-buang waktu lagi langsung berkeliling untuk melihat spot terbaik untuk foto. Nampak ada 3 kelompok pengunjung selain kami di tempat ini, cukup sepi kan? Kelompok pertama merupakan pasangan muda-mudi yang sedang duduk berduaan di tempat duduk di bawah pohon, kelompok kedua adalah 3 orang siswi SMA yang masih berseragam dan kelompok terakhir adalah 2 orang remaja yang sedang berfoto-foto di dalam kompleks Candi Jago.

Suasananya sudah sepi dan sangat cocok untuk foto, tapi sayang sekali karena datangnya terlalu cepat, cahayanya masih agak kasar, bagi saya masih belum cocok untuk foto landscape. Tapi tetap saya lanjutkan untuk foto, karena agak nanggung kalau mau menunggu hingga pukul 16:00 – 18:00 (waktu favorit saya untuk foto di sore hari). Saya dan Dimas mulai sibuk dengan kamera masing-masing, kadang-kadang saling foto. Setelah itu baru mulai mengelilingi candi untuk melihat berbagai relief yang terukir di dinding candi. Bagi yang belum mengetahui tentang cerita pada relief itu bisa membaca pada bagian “Relief Candi Jago” di atas, membacanya pada papan informasi di dalam kompleks Candi Jago atau membeli buku yang disediakan oleh pengelola seharga Rp. 15.000.

Tidak banyak waktu yang dihabiskan untuk memotret pemandangan di Candi Jago ini, karena memang kompleksnya tidak terlalu luas. Setelah itu sempat bertanya sebentar kepada pengelola tentang waktu buka. Katanya sih dibuka mulai pukul 07:00 hingga 16:00 setiap harinya, namun terkadang bisa sampai 17:00 jika penjaganya masih ingin berlama-lama atau masih banyak pengunjung di dalam kompleks candi. Jadi bagi yang ingin datang ke Candi ini, pastikan untuk tiba sesuai jam operasionalnya. Tapi kalau hanya mau lihat foto-fotonya, dibawah ini ada tambahan foto di Candi Jago Malang oleh nnoart.
Share:

nusantara

Candi Sawentar terletak di Desa Sawentar, Kecamatan Kanigoro, Blitar, Jawa Timur. Di dalam Kitab Negarakertagama, Candi Sawentar disebut juga Lwa Wentar. Bangunan candi ini dahulu merupakan sebuah kompleks percandian, karena disekitarnya masih ditemukan sejumlah pondasi yang terbuat dari bata.
Candi Sawentar diduga dibangun pada awal berdirinya Kerajaan Majapahit. Candi yang terbuat dari batu andesit ini berukuran panjang 9,53 m, lebar 6,86 m dan tingginya 10,65 m. Pintu masuk menuju bilik berada di sebelah barat, dengan ornamen makara pada pipi tangga, sedangkan relung-relungnya terdapat pada setiap dinding luar tubuh candi.
Di dalam ruangan bilik ditemukan akas arca dengan pahatan burung garuda, yang dikenal sebagai kendaraan Dewa Wisnu. Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa Candi Sawentar merupakan bangunan suci yang berlatar belakang agama Hindu.
Share:

Cahaya indonesia

Setiap kota atau kabupaten seringkali memiliki satu objek wisata yang juga sangat bersejarah, yang menjadi saksi dan tanda dari hari jadi kabupaten tersebut. Begitu pula yang ada di Kabupaten Trenggalek,Provinsi Jawa Timur. Di sini, anda dapat melihat secara langsung sebuah prasasti bernama Prasasti Kamulan, yang merupakan tonggak sejarah berdirinya Kabupaten Trenggalek ini. 
 Prasasti Kamulan ini berada di Desa Kamulan, wilayah Kecamatan Durenan, Trenggalek. Prasasti ini dibuat dan dikeluarkan pada mas pemerintahan Raja Sarwewara Trikramawataranindita Srngga Lancana, yang selama ini juga dikenal dengan sebutan Raja Kertajaya, pada tahun 1194 Masehi, atau 1116 Caka. Melalui prasasti ini disebutkan bahwa hari jadi dari Kabupaten Trenggalek sendiri tepatnya pada hari Rabu Kliwon, tanggal 31 Agustus 1194. 


Hingga saat ini, prasasti Kamulan masih terjaga dengan sangat baik. Berada di bawah sebuah pendopo besar yang dibuat untuk melindungi sekaligus memamerkannya kepada para pengunjung wisata sejarah.  Areal sekitar pendopo di mana prasasti ini ditempatkan pun bisa dikatakan cukup teduh dan asri, sehingga dapat memberikan kenyamanan kepada para wisatawan yang berkunjung ke sana. Dengan mengunjungi objek sejarah seperti prasasti Kamulan ini, anda pun dapat lebih mengetahui asal-usul sebuah daerah sekaligus turut melestarikannya.
Share:

candi kecil

Candi Tuban yang terletak Di dusun Tuban,Desa Domasan,Kecamatan Kalidawir,Kabupaten Tulungagung,Kini Tinggal menjadi Legenda,sejak penggrusakan dan penjarahan era Tahun 1965, semua bagian candi di jarah dan di hancurkan ada yang di buat bangunan rumah dan ada yang di jual,lokasi candi tuban saat ini yang terliaht hanya sebuah kolam dan kandang ayam,sedangkan batu ambang pintu candi tuban yang mempunyai angka tahun tersebar di pemukiman warga.

Sangat Di sayangkan candi tuban ini,karena candi tuban memiliki kaitan dengan kisah angkling dharma,letak candi tuban ini juga tak jauh dari candi mirigambar
Share:

indonesia

AS.com - Penelitian Situs Tondowongso di Kediri, Jawa Timur, oleh tim gabungan Balai Arkeologi Yogyakarta, Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur, dan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, menunjukkan, kompleks candi itu berulang kali terpapar bencana, seperti erupsi Gunung Kelud dan banjir dari Kali Konto, anak Sungai Brantas. Lantaran rawan bencana alam, kompleks candi Hindu peninggalan antara abad ke-11 dan ke-12 Masehi itu ditinggalkan.

Saat ditemukan pada 2007, Situs Tondowongso terpendam muntahan piroklastik Kelud dengan ketebalan 5-6 meter. Selain terempas material vulkanik, situs itu beberapa kali terendam banjir.

Berdasarkan hasil ekskavasi tim pada 14-25 Oktober 2014, bagian paling atas timbunan situs berupa lapisan pasir, kerikil, dan batu apung setebal 1 meter. Lalu, di bagian bawahnya terdapat bekas banjir. Kemudian, pada bagian paling bawah sebelum struktur candi terdapat lapisan material vulkanik lagi dengan ketebalan 2-3 meter.

”Dugaan kami, setelah terempas erupsi dan rusak, situs ditinggalkan masyarakat pada saat itu,” kata Ketua Tim Ekskavasi Situs Tondowongso Sugeng Riyanto, Minggu (26/10/2014), saat dihubungi dari Jakarta.

Dia memprediksi kompleks candi itu sempat dimanfaatkan dalam waktu relatif lama. Lapisan piroklastik pertama diperkirakan menimbun antara tahun 1.300 Masehi dan lapisan piroklastik terakhir menimbun pada kisaran tahun 1.500 Masehi.

Masih banyak misteri yang harus diungkap dari situs itu. Akan tetapi, menurut Kepala Balai Arkeologi Yogyakarta Siswanto, karena target penelitian jangka panjang di situs itu telah terpenuhi, tahun depan penelitian di Situs Tondowongso dihentikan terlebih dulu. ”Kami masih menunggu tahapan berikutnya,” ujarnya. (ABK/KOMPAS CETAK)
Share:

candi nusantara

Candi Penataran, adalah sebuah candi berlatar belakang Hindu yang telah ada sejak kerajaan Kediri dan digunakan sampai era kerajaan Majapahit.
Komplek candi Penataran ini merupakan komplek candi terbesar di Jawa Timur dan terletak di lereng barat daya Gunung Kelud. Terletak pada ketinggian 450 M dari permukaan laut, komplek candi Penataran ini terletak di desa Panataran, kecamatan Nglegok, Blitar.
Candi Penataran ditemukan pada tahun 1815, dan belum banyak dikenal sampai tahun 1850. Komplek candi ini ditemukan oleh Sir Thomas Stamford Raffles, yang merupakan Letnan Gubernur Jendral pada masa kolonial Inggris di Indonesia pada waktu itu.
Raffles bersama-sama dengan Dr.Horsfield seorang ahli Ilmu Alam mengadakan kunjungan ke Candi Panataran, dan hasil kunjunganya dibukukan dalam buku yang berjudul "History of Java" yang terbit dalam dua jilid. Jejak Raffles ini di kemudian hari diikuti oleh para peneliti lain yaitu : J.Crawfurd seorang asisten residen di Yogyakarta, selanjutnya Van Meeteren Brouwer (1828), Junghun (1884), Jonathan Rigg (1848) dan N.W.Hoepermans yang pada tahun 1886 mengadakan inventarisasi di komplek candi Panataran.
Nama asli candi Penataran dipercaya adalah Candi Palah yang disebut dalam prasasti Palah, dan dibangun pada tahun 1194 oleh Raja Çrnga (Syrenggra) yang bergelar Sri Maharaja Sri Sarweqwara Triwikramawataranindita Çrengalancana Digwijayottungadewa. Raja Çrnga memerintah kerajaan Kediri antara tahun 1190 - 1200, sebagai candi gunung untuk tempat upacara pemujaan agar dapat menetralisasi atau menghindari mara bahaya yang disebabkan oleh g
Share:

candi nusantara

Sekretaris Camat (Sekmat) Kecamatan Pamarican, Deni, S.Ip, Kamis (26/03/2015), mengaku pernah melakukan penelitian bersama tim arkeolog dari Jakarta pada sekitar tahun 1982. “Kebetulan waktu itu saya masih bertugas di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ciamis. Saat itu saya ikut menjadi anggota tim peneliti keberadaan Candi Ronggeng tersebut,” kata Deni.
Meski sudah melakukan penelitian, Deni menuturkan, tim peneliti belum berhasil mengungkap dan menyimpulkan runtutan sejarah keberadaan Candi Ronggeng tersebut secara lebih detil.
“Kami belum bisa menyimpulkan kapan berdirinya candi ronggeng itu. Hanya saja, kami meyakini, Candi tersebut berdiri sejak berabad-abad tahun yang lalu, atau semasa kejayaan kerajaan galuh,” tambah Deni.
Namun demikian, lanjut Deni, hasil dari penelitian yang dilakukan Pemerintah bersama tim arkeolog saat itu, mengungkapkan, sebelum Candi Ronggeng akhirnya terkubur, kawasan itu merupakan pusat kegiatan ritual semasa kerajaan Galuh.
“Dulunya candi ini roboh. Hanya saja, belum bisa dipastikan apa penyebab robohnya candi tersebut. Sayangnya, penelitian yang kami lakukan terkendala masalah pembebasan lahan. Selain itu, saya juga pindah tugas,” ucapnya.
Selain bangunan berupa candi, kata Deni, tim peneliti juga menemukan sebuah arca Sapi Gumarang. Arca tersebut berbentuk sapi dalam ukuran kecil sebesar kelinci. “Arca inilah yang dulu justru mengeluarkan aura mistik, sehingga kamipun terpaksa menerjunkan ahli spiritual. Apalagi, kawasan ditemukannya candi dan arca diyakini merupakan kawasan yang cukup angker,” ujarnya.
Deni menambahkan, keanehan pada acara diketahui karena arca itu tidak terkubur tanah meski usianya sudah lama. Keanehan lainnya, arca Sapi Gumarang itu juga sempat mengeluarkan cahaya.
“Saya berharap, Pemerintah Kabupaten Ciamis kembali melakukan penelitian terhadap keberadaan Candi Ronggeng, yang sempat tertunda akibat masalah pembebasan lahan. Kedepan, saya juga berharap ini bisa dijadikan aset budaya dan sumber PAD bagi pemerintah,” pungkasnya. (Suherman/Koran-HR)
Share:

candi nusantara

Gedong Songo (Sembilan Bangunan) adalah nama candi yang berada di bukit pegunungan Ungaran. Candi Gedong Songo terletak pada ketinggian sekitar 1.200 DPL dengan suhu sekitar 19 – 27 °C. Lokasi Candi Gedong Songo sangat mudah di jangkau dari berbagai kota yang ada di sekitarnya. Lokasinya merupakan jalur deretan alternatif  Ungaran – Temanggung. Apabila Petualang memulai dari Kota Semarang cukup ke selatan menuju Kota Ungaran – Bandungan – Gedong Songo. Bisa di tempuh dengan waktu 1 jam perjalanan. Apabila dari Yogyakarta bisa melalui Kota Ambarawa (Tugu Palagan Ambarawa) – Bandungan – Gedong Songo, waktu perjalanan sekitar 2 jam.

Candi Gedong Songo terletak di lereng Gunung Ungaran, pada koordinat 110°20’27” BT dan 07°14’3” LS di desa Darum, Kelurahan Candi, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang, Propinsi Jawa Tengah. Gedong Songo berasal dari bahasa Jawa, Gedong (rumah/bangunan) dan Songo (sembilan) yang berarti Sembilan (Kelompok) Bangunan. Apakah sejak awal candi ini ada sembilan kelompok? Atau memiliki arti lain? Hmm, belum dapat dijawab. Namun saat ini hanya ada 5 komplek candi.
Candi Gedong Songo ini banyak kemiripan dengan candi yang ada di Dieng yang berada di Kabupaten Banjarnegara (petualangan selanjutnya). Komplek candi ini di buat berderet dari  bawah ke atas perbukitan mengintari kawah sumber air panas. Dimana komplek candi di Dieng juga banyak kawah air panas yang berada tak jauh dari pusat candi. Pembuatan candi yang simetris dan berada atas bukit menunjukan perpaduan dari dua religi yaitu lokal yang menganut kepercayaan terhadap nenek moyang dan budaya hindu dimana candi sebagai tempat tinggal para dewa. Candi yang dibuat kuncup ke atas mirip dengan budaya jaman batu yaitu punden berundak-undak.  Prinsipnya bawah semakin ke puncak, maka roh nenek moyang semakin dekat dengan manusia. Nah, kedua budaya ini menyatu di Candi Gedong Songo dengan mendefinisikan sebagai tempat persembahan untuk roh nenek moyang dimana tempat untuk melakukan prosesi tersebut berada di komplek candi yang berada di atas perbukitan.
Arca-Arca di komplek Candi Gedong Songo yang dibuat pada abad ke 8 Masehi tidak lagi lengkap. Arca-arca yang di jumpai hanya beberapa yang tersisa, seperti Durga (Istri Siwa), Ghanesa (Anak Siwa), Agastya (Seorang Resi) Serta dua pengawal dewa Siwa yaitu Nandiswara dan Mahakala yang bertugas menjaga pintu candi.
Komplek Candi Gedong Songo sendiri di temukan oleh Loten, pada tahun 1740. Pada masa setelahnya, Rafles mulai mencatatnya dengan memberi nama gedong pitoe (tujuh) karena hanya menemukan 7 kelompok bangunan sekitar tahun 1804.  Namun baru pada tahun 1925, Van Braam membuat publikasi adanya candi di sekitar perbukitan Ungaran. Lalu Friederich dan Hopermans menulis tentang Gedong Songo, dan Van Stein Calefells melakukan penelitian di sekitar Komplek Candi Gedong Songo pada tahun 1908.  Sekitar tahun 1911-1912 Knebel melakukan inventarisasi semua komplek candi Gedong Songo.

Pada tahun 1916, Pemerintah Belanda secara resmi mulai melakukan penelitian di komplek candi yang diserahkan tugas pada saat itu adalah oleh Dinas Purbakala Belanda. Pada tahun 1928-1929, dilakukan pemugaran candi Gedong 1. Pada tahun 1930-1932 dilakukan pemugaran pada candi Gedong 2. Pemerintah Indonesia memulai pemugaran pada tahun 1977-1983, yang dipugar pada pada komplek candi gedong 3 , 4 dan 5.  Pada saat itu yang melakukan tugas pemugaran adalah SPSP, pada saat ini namanya berubah menjadi Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala. Pada tahun 2009 Pemerintah Indonesia mulai melakukan pemetaan ulang semua komplek candi Gedong Songo.
Untuk menuju ke Gedong Songo Petualang harus hati-hati dalam berkendara, karena jalan sempit dan berkelok-kelok. Apalagi ketika turun hujan, sebaiknya jalan pelan-pelan. Setelah melewati gapura masuk Gedong Songo, silakan untuk mengunakan gigi rendah karena jalan sangat menanjak dan sempit. Ketika memasuki sekitar desa jalan semakin menanjak, terutama di bagian belokan setelah parkir luar komplek Candi Gedong Songo. Banyak motor dan mobil kewalahan dan terpaksa berhenti di tengah tanjakan karena tidak kuat untuk naik lagi.
Setelah memasuki parkir, petualang akan dibawa ke pintu masuk candi. Untuk petualang lokal dikenai biaya Rp. 6.000,- untuk petualang asal mancanegara harga tiketnya Rp. 25.000,-. Cukup terjangkau dengan sesuatu yang didapatkan nanti. Pandangan pertama Petualang akan tertuju pada gapura masuk yang mirip candi, lalu berjalan sebentar akan bertemu dengan tempat tempat pentas dan komplek candi Gedong Songo I . Kebanyakan para petualang akan berfoto ria di komplek candi ini. Untuk yang satu ini Petualang wajib antri dan sabar.
Untuk menuju komplek candi II, petualang harus ekstra kuat dan semangat. Letaknya sekitar 500 meter lebih dari komplek candi I. Pada saat ini, pengelola candi Gedong Songo membuat jalur baru yang memisahkan antara jalur Hikingers dan jalur kuda. Jalur Hikingers akan di belokkan ke kanan, melewati perbukitan dan warung makan. Beberapa Gazebo di siapkan untuk tempat istirahat para Petualang yang lelah naik ke perbukitan. Jalannya cukup bersih karena (maaf) tidak ada kotoran kuda disana-sini. Untuk jalur kuda berada di sebelah kiri yang letaknya agak berjauhan.
Bagi para Petualang yang sangat capek dan lelah, bisa menyewa kuda menuju candi-candi tertentu atau semua komplit seluruh candi. Dengan harga berkisar sekitar Rp. 25.000,- hingga Rp. 70.000,- untuk mengintari seluruh komplek candi. Ketika berada di komplek candi kedua, Petualang akan merasakan perbedaan dengan candi yang kesatu. Letaknya yang berada di ketinggian sangat bagus untuk eksplore sejarah dan berfoto ria. Sama dengan candi yang kesatu, komplek candi kedua juga hanya ada 1 buah candi. Beberapa bekas candi nampak sangat buruk karena keberadaannya tidak nampak lagi. Entah belum jadi, atau ‘diamankan’ untuk tujuan tertentu.

Setelah puas dengan komplek candi yang kedua, hanya berjarak beberapa meter ke atas. Petualang akan menemukan komplek candi yang ketiga. Komplek candi yang ketiga ini cukup lengkap berjumlah 3 buah candi yang saling berdekatan. Kalau petualang pernah ke Dieng, maka akan di temukan kemiripan dengan komplek candi Arjuna di Dieng. Dengan beberapa candi yang mengerucut ke atas dan satu buah candi berbentuk kotak di depannya. Di komplek candi ketiga ini beberapa patung masih ada seperti patung Durga, Ganesa dan pengawal dewa siwa Nandiswara dan Mahakala yang berada di samping kanan kiri pintu candi.

Di depan komplek candi ketiga tersebut juga terdapat uap panas yang berasal dari dalam bum. Pengelola Candi Gedong songo telah menyiapkan tempat untuk petualang yang menikmati air hangat dan uap panas yang konon dapat menyembuhkan penyakit kulit. Hanya berjarak sekitar 100 meter ke bawah, dengan jalanan yang mudah dilalui maka petualang bisa menikmati segarnya uap panas yang menyehatkan.
Namun petulang bisa melakukan perjalanan lagi menuju komplek candi keempat yang letaknya agak jauh dari komplek candi ke dua dan ke tiga. Hanya perlu berjalan beberapa menit mengintari bukit, maka pertualang akan tiba di komplek candi ke empat. Dan candi kelima jaraknya juga tidak jauh dari tempat tersebut. Pada komplek candi yang kelima, beberapa bangunan candi nampak rusak karena sesuatu sehingga hanya sebuah candi kecil saja yang tersisa.

Setelah lelah berpetualang, pasti merasakan lapar dan haus. Tak masalah, di sekitar Gedong Songo atau Bandungan banyak tersedia kuliner khas Ungaran. Petualang bisa menikmati sate kelinci yang sedap dengan merogoh dompet sebesar Rp. 15.000,-. atau minum wedang (minuman)  ronde yang hangat. Petualang juga bisa bisa menikmati Tahu Serasi khas Ungaran disajikan bersama dengan hangatnya sari kedelai yang manis. Jangan lupa membeli gula kacang yang tersedia di toko-toko terdekat. Bisa juga membeli aneka sayur dan buah segar di pasar tradisional Bandungan, lalu berbelanja beragam tamanan hias dan bunga-bunga langka yang indah.
Share:

candi nuasantara

Jika berkunjung ke candi Prambanan jangan lupa memperhatikan arca Roro Jonggrang yang berada di kompleks candi kebanggaan masyarakat Jawa Tengah ini. Konon, arca yang diam membisu itu menyimpan kekuatan magis. Bila bulan purnama tiba, patung tersebut akan memancarkan sinar kemerah-merahan. Benarkah?
Pelataran kompleks candi Prambanan sejak jaman dulu dikenal sangat indah saat bulan purnama menaungi dengan cahaya malamnya. Saat itulah waktu paling tepat bagi para lelaku untuk menggelar ritual baik di pelataran maupun di beberapa gugusan candi yang dia anggap paling cocok untuk tempat ngalab. Paling banyak didatangi masyarakat pada malam terang itu, biasanya gugusan yang ada di dekat arca Roro Jonggrang.
Di sini keajaiban alam akan terjadi. Tanpa sebab yang pasti, setiap kali arca Roro Jonggrang disinari bulan purnama akan mengeluarkan cahaya kemerah-merahan yang dipercaya sebagai pancaran aura. Setiap saat perjaka atau gadis yang belum menikah akan memburu sinar tersebut untuk mendapatkan tuahnya. Konon, aura arca ampuh membikin bujang gampang mendapatkan jodoh.
Saat itulah terlihat sekumpulan orang akan melakukan ritual agar mendapatkan jodoh. Kepercayaan yang sudah berlaku sejak dulu itu, meski sulit dinalar tapi kenyataan pengunjung yang pernah melakukan ritual banyak yang mengaku berhasil mendapatkan jodoh seperti yang dia idamkan.
Patung Roro Jonggrang atau disebut pula dengan Arca Durga Mahishasuramardini ini
berkaitan erat dengan legenda Bandung Bondowoso. Sebagaimana diceritakan dalam kisah Bandung Bondowoso, terciptanya candi Prambanan lengkap dengan arca Roro Jonggrang itu diawali kisah putri dari Prabu Boko yang bernama Roro Jonggrang akan dipersunting oleh seorang pemuda yang gagah, ganteng dan sakti mandraguna.
Akan tetapi perilaku pemuda yang congkak dan sombong itu, kurang berkenan di hati Roro Jonggarang sehingga dengan berbagai pertimbangan lamaran tersebut dia tolak. Cuma dilakukan secara halus, yakni dengan meminta agar Bandung Bondowoso menciptakan seribu candi dalam semalam. Tentu permintaan yang tidak masuk akal. Cuma Bandung tidak gampang menyerah, dia berani mencoba membuktikan tanda cintanya itu dengan membuatkan seribu candi.
Dengan kesaktian yang dimiliki dan mengerahkan makhluk gaib, Bandung mulai membuat candi. Ternyata, sebelum pagi pekerjaan Bandung nyaris selesai.
Keadaan tersebut menimbulkan kepanikan pada diri Roro Jonggrang. Lalu ia memerintahkan kepada para abdi dalem (pembantunya) agar menabuh lesung (tempat menumbuk padi).
Mendengar bunyi lesung bertalu-talu, disambung dengan bunyi kokok ayam bersahutan membuat para lelembut yang membantu prosesi pembuatan candi ketakutan. Mereka menyangka pagi telah tiba, dan sekaligus menghentikan pekerjaannya. Ternyata, tatkala ‘pagi’ buatan itu tiba patung yang dibuat oleh Bandung tinggal satu lagi. Dan, itu pun tidak sanggup diselesaikan.
Bandung Bondowoso sadar jika semua itu merupakan tipu daya yang dilakukan oleh Roro Jonggrang. Dengan segala kesaktiannya ia mengutuk Roro Jonggrang sehingga putri cantik itu menjadi patung untuk melengkapi seribu candi yang dibuatnya. Bagi warga sekitar candi Prambanan, patung Roro Jonggrang memiliki arti khusus. Selain memiliki aura mempercepat jodoh, juga letaknya yang sangat menonjol.
Merupakan acar putri satu-satunya yang ada di dalam kompleks candi, dan juga berada di tengah pelataran. Konon, tepat saat bulan purnama tiba patung tersebut tidak saja mengeluarkan auranya namun juga terlihat sangat cantik. Karena itu, banyak warga terutama kaum perempuan yang mendatanginya untuk mengadakan ritual khusus mendapatkan aura dari putri Prabu Boko.
Bahkan tidak jarang, ada pula pasangan suami istri yang datang ke tempat ini agar mendapatkan keturunan. Seperti halnya pendapat umum warga setempat mengatakan, persoalan enteng jodoh dan mendapat keturunan itu tergantung kehendak Tuhan. Jadi tidak ada salahnya melakukan ikhtiar dengan mendatangi arca Roro Jonggrang yang konon memiliki kelebihan tersebut. (ais)
Share:

candi nusantara

Menyusuri jalan menuju bagian selatan kompleks Istana Ratu Boko adalah sebuah perjalanan yang mengasyikkan, terutama bagi penikmat wisata budaya. Bagaimana tidak, bangunan candi di sana bertebaran bak cendawan di musim hujan. Satu diantaranya yang belum banyak menjadi perbincangan adalah Candi Ijo, sebuah candi yang letaknya paling tinggi di antara candi-candi lain di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Candi Ijo dibangun sekitar abad ke-9, di sebuah bukit yang dikenal dengan Bukit Hijau atau Gumuk Ijo yang ketinggiannya sekitar 410 m di atas permukaan laut. Karena ketinggiannya, maka bukan saja bangunan candi yang bisa dinikmati tetapi juga pemandangan alam di bawahnya berupa teras-teras seperti di daerah pertanian dengan kemiringan yang curam. Meski bukan daerah yang subur, pemandangan alam di sekitar candi sangat indah untuk dinikmati.
Kompleks candi terdiri dari 17 struktur bangunan yang terbagi dalam 11 teras berundak. Teras pertama sekaligus halaman menuju pintu masuk merupakan teras berundak yang membujur dari barat ke timur. Bangunan pada teras ke-11 berupa pagar keliling, delapan buah lingga patok, empat bangunan yaitu candi utama, dan tiga candi perwara. Peletakan bangunan pada tiap teras didasarkan atas kesakralannya. Bangunan pada teras tertinggi adalah yang paling sakral.
Ragam bentuk seni rupa dijumpai sejak pintu masuk bangunan yang tergolong candi Hindu ini. Tepat di atas pintu masuk terdapat kala makara dengan motif kepala ganda dan beberapa atributnya. Motif kepala ganda dan atributnya yang juga bisa dijumpai pada candi Buddha menunjukkan bahwa candi itu adalah bentuk akulturasi kebudayaan Hindu dan Buddha. Beberapa candi yang memiliki motif kala makara serupa antara lain Ngawen, Plaosan dan Sari.
Ada pula arca yang menggambarkan sosok perempuan dan laki-laki yang melayang dan mengarah pada sisi tertentu. Sosok tersebut dapat mempunyai beberapa makna. Pertama, sebagai suwuk untuk mngusir roh jahat dan kedua sebagai lambang persatuan Dewa Siwa dan Dewi Uma. Persatuan tersebut dimaknai sebagai awal terciptanya alam semesta. Berbeda dengan arca di Candi Prambanan, corak naturalis pada arca di Candi Ijo tidak mengarah pada erotisme.
Menuju bangunan candi perwara di teras ke-11, terdapat sebuah tempat seperti bak tempat api pengorbanan (homa). Tepat di bagian atas tembok belakang bak tersebut terdapat lubang-lubang udara atau ventilasi berbentuk jajaran genjang dan segitiga. Adanya tempat api pengorbanan merupakan cermin masyarakat Hindu yang memuja Brahma. Tiga candi perwara menunjukkan penghormatan masyarakat pada Hindu Trimurti, yaitu Brahma, Siwa, dan Whisnu.
Salah satu karya yang menyimpan misteri adalah dua buah prasasti yang terletak di bangunan candi pada teras ke-9. Salah satu prasasti yang diberi kode F bertuliskan Guywan atau Bluyutan berarti pertapaan. Prasasti lain yang terbuat dari batu berukuran tinggi 14 cm dan tebal 9 cm memuat mantra-mantra yang diperkirakan berupa kutukan. Mantra tersebut ditulis sebanyak 16 kali dan diantaranya yang terbaca adalah "Om Sarwwawinasa, Sarwwawinasa." Bisa jadi, kedua prasasti tersebut erat dengan terjadinya peristiwa tertentu di Jawa saat itu. Apakah peristiwanya? Hingga kini belum terkuak.
Mengunjungi candi ini, anda bisa menjumpai pemandangan indah yang tak akan bisa dijumpai di candi lain. Bila menghadap ke arah barat dan memandang ke bawah, anda bisa melihat pesawat take off dan landing di Bandara Adisutjipto. Pemandangan itu bisa dijumpai karena Pegunungan Seribu tempat berdiri candi ini menjadi batas bagian timur bandara. Karena keberadaan candi di pegunungan itu pula, landasan Bandara Adisutjipto tak bisa diperpanjang ke arah timur.
Setiap detail candi menyuguhkan sesuatu yang bermakna dan mengajak penikmatnya untuk berefleksi sehingga perjalanan wisata tak sekedar ajang bersenang-senang. Adanya banyak karya seni rupa hebat tanpa disertai nama pembuatnya menunjukkan pandangan masyarakat Jawa saat itu yang lebih menitikberatkan pada pesan moral yang dibawa oleh suatu karya seni, bukan si pembuat atau kemegahan karya seninya.
Share:

Sample Text

Copyright © Sejarah Candi | Powered by Blogger Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com